Oleh Prof Dr Mardianto MPd
UINSU dengan berbagai fakultas dan lembaga pengabdian masyarakat yang ada dianggap mampu memberikan konstribusi untuk membantu upaya pencegahan penularan HIV dan AIDS berhasil, khususnya di Sumatera Utara. Terbentuknya latHIVa di kampus UIN SU pada 2000 merupakan satu-satunya lembaga pendidikan tinggi Islam yang ikut dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Sumatera Utara, bahkan di tingkat nasional. lLatHIVa ini juga menjadi respresentase dari lembaga keislaman yang peduli kepada HIV dan AIDS. (Ramadhan, 2019:18).
Tri Dharma Perguruan Tinggi sampai sekarang masih menjadi bagian dari paradigma pendidikan tinggi baik dalam skala kecil politeknik, tingkat menengah sekolah tinggi, insitut, sampai skala besar yakni universitas.
Namun dari perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini ada yang menambahkan menjadi empat atau caturdharma bahkan ada yang lima atau pancadharma perguruan tinggi.
Kita pernah mengalami beberapa dekade bahwa perguruan tinggi adalah tempat belajarnya orang-orang yang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan, karena di sana ada dosen bahkan profesor memiliki ilmu yang mumpuni, kelengkapannya adalah karya mereka mentereng dari sejumlah literatur ilmiah.
Maka nama profesor dan perpustakaan adalah simbol dari gengsi sebuah perguruan tinggi, semakin ahli dosennya, dan semakin lengkap perpustakaan maka semakin berreputasilah perguruan tinggi tersebut.
Mungkin inilah yang disebut dengan era Teaching University. Sebagai lembaga ilmiah tentulah para dosen tidak hanya bertumpu pada teori yang ada di buku, banyak hal telah berubah, teori harus terus dikritisi, dibuktikan atau diupdate.
Maka penelitian tentang hal-hal yang terjadi di masyarakat harus segera dilakukan. Jadilah perguruan tinggi bukan lagi gambaran sekumpulan para guru besar yang menulis berbagai teori atau berapa jumlah buku yang diterbitkan, tetapi dilihat dari hasil penelitiannya.
Rekomendasi penelitian yang diterbitkan lewat jurnal menjadi ukuran tingkat reputasi sebuah perguruan tinggi, sekecil apa pun jenis pendidikan tinggi tersebut.
Bahkan dosen diukur dan dikualifikasi dengan kemampuannya menulis di jurnal. Dan ini yang disematkan dengan istilah Research University.
Namun menjelang akhir abad 21 perguruan tinggi selalu berdiri seperti Menara Gading, kampus dengan kehidupannya seperti terlepas dari masyarakat, maka pengabdian secara timbal balik dituntut oleh masyarakat dan pemerintah.
Dosen dan mahasiswa bukan saja sekadar kuliah kerja nyata tetapi mereka juga diminta berkolaborasi membangun masyarakat secara bersama. Masalah yang ada di masyarakat harus dipresentasekan dalam berbagai program perguruan tinggi, hal ini tentu menjadi beban lebih, baik bagi dosen maupun tenaga pendidik dimana selama ini.
Tapi ini adalah tuntutan agar perguruan tinggi tetap eksis, intinya apa yang ada di masyarakat harus menjadi bagian dari program perguruan tinggi, mungkin inilah yang disebut dengan Smart University.
Apa yang harus dilakukan perguruan tinggi, cukup dengan fakultas dan program studi untuk mengembangkan ilmu secara deduktif, tetapi dalam melayani masyarakat maka kembangkan berbagai lembaga dan unit pelayanan teknis secara induktif.
Tentu strateginya bukan mengajarkan secara teori, penelitian untuk menyelesaikan tugas akhir semata, tetapi paradigma layanan adalah berbasis smart, UIN telah merintis hal ini, lewat regulasi telah didirikan lembaga LatHIVa, sementara berbagai kegiatan telah dilaksanakan.
Mungkin kini saatnya setiap kampus seperti UINSU harus mempertimbangkan untuk mengembangkan fakultas baru, tetapi lebih pada pengembangan kelembagaan yang dapat memberikan kontribusi pada masyarakat yang lebih nyata di Smart University.
Apa yang telah dirintis dan dilakukan oleh seorang Ahmad Ramadhan itu terbaik pada awal tahun 2000-an, tetapi akan lebih bijaksana bila kita upgrade, sesuai dengan tuntutan regulasi dan kebutuhan masyarakat di era milenial saat ini.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.