Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Adanya kemungkinan yang diwujudkannya prinsip persaudaraan dan kemanusiaan yang benar, yang pada intinya setelah iman sebagai landasannya, ialah paham kemajemukan atau pluralism. Pertama, di antara sesama kaum beriman berdasarkan prinsip kenisbian ke dalam (relatifisme internal). Kedua diantara sesama umat manusia secara keseluruhan, paham kemajemukan itu ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa masing-masing kelompok manusia berhak untuk bereksistensi dan menempuh hidup sesuai dengan keyakinannya. Larangan memaksakan agama, yang disebutkan dengan tegas dan jelas dalam Kitab Suci. (Nurcholish Madjid,1992:x).
Saya adalah saya, kamu adalah kamu, saya dan kamu bisa saja jadi kami, kadang menjadi kita, semuanya tergantung pada prinsip pada saat apa dan bagaimana hal itu dilakukan. Itulah yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam bergaul, berkomunitas dan berkehidupan yang lebih luas.
Saya adalah saya, hal ini tidak lain dari apa yang kita percayai sebagai sebuah keyakinan, dengan pendidikan kita akan lebih memahami siapa saya sesungguhnya, dengan bergaul saya akan tahu dimana posisi saya.
Maka saya harus menjadikan diri saya sebagai orang yang memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup, namun tetap bertanggungjawab dihadapan keyakinan yang saya anut.
Kamu adalah kamu, dengan mengakui bahwa terdapat satu komunitas lain di luar diri saya maka itu adalah menyetujui ada yang berbeda.
Perbedaan boleh saja dimengerti dengan maksud untuk saling menjaga tidak melanggar hak-hak yang di luar kamu. Kamu yang memiliki wilayah berbeda tidak mesti dan apalagi menjajah wilayah saya.
Bukankah telah diingatkan bahwa prinsip persaudaraan dan kemanusiaan harus dilandasi iman.
Saya dan kamu bisa saja menjadi kami, ada saatnya dengan sukarela saya menyetujui apa yang kamu lakukan, dan kamu menerima apa yang saya lakukan.
Ini adalah bagian dari eksistensi saya sehingga diterima dalam komunitas dan salah satu kebahagiaan akan hadir di tempat ini.
Banyak cara yang saya lakukan agar diterima menjadi kami, tetapi justru eksistensi kami didasari oleh adanya penerimaan bahwa setiap saya dan saya yang lain memiliki prinsip kesamaan.
Kesamaan tentang pengetahuan, tentang kebahagiaan, tentang berbagai problema hidup, dan terlebih tentang upaya mengatasinya. Inilah maka dilarang memaksakan agama pada orang lain.
Saya dan kamu bisa saja menjadi kita. Inilah sesungguhnya hidup ini, saya yang memiliki kebebasan diterima dalam komunitas, begitu juga kamu yang memiliki aturan saya terima dengan kesepakatan.
Intinya saling menjaga bahwa ada saya dalam kamu dan ada kamu dalam saya, karena kita ingin mencapai tujuan yang sama yakni kebahagiaan. Lahirnya saling menghargai dan saling menghormati, kemudian saling menyayangi akan lengkap bila dilakukan dengan tidak saling menganggu.
Narasi di atas sedikit personal, dan terkesan pemaksaan beberapa kata untuk mewakili pernyataan.
Padahal, maksudnya menyampaikan bahwa saya, kamu, dan kita adalah sebuah kenyataan dalam hidup, saya harus memenuhi kebutuhan diri sendiri, kamu hadir dalam kehidupan yang berbeda, maka mari kita merajut kebersamaan untuk hidup berdampingan.
Itulah bagian dari inti menerima kemajemukan dalam hidup berbangsa dan bernegara, semua berjalan normal-normal saja bila kita memulainya dengan niat yang baik.
Dengan demikian pesan agama bahwa hidup yang terbaik adalah paling bermanfaat bagi orang lain dapat dijalankan itulah yang tertulis dalam kitab suci.
Sebagian pemikiran Nurcholish Madjid sudah beliau sampaikan sejak akhir tahun 1960-an, bahkan awal 1970-an beliau yang disebut sebagai Natsir Muda mencoba memberikan sintesis terbaik bagi Indonesia yakni kita untuk masyarakat yang lebih luas.
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan yang ia thesa kan merupakan pilihan terbaik, bila kita benar-benar memahami bahwa Islam itu ada yang doktrin sebagai kesucian yang harus disayakan, dan dibuktikan dengan peradaban yang harus dipelajari untuk kekitaan.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.