Jauh di sudut kota lalu lalang manusia tidaklah seramai di belahan bumi lain. Geliat masyarakat dalam mencari nafkah kadang seiring sesuai dengan kemampuan, tidak ada yang berlebihan apalagi pejabat negara. Boleh jadi kerja sedapatnya, yang penting halal dapat mencukupi makan satu hari itu sudah luar biasa. Ini salah satu fenomena kehidupan beberapa tahun yang lalu, tetapi kini ternyata masyarakat terus berubah.
Beberapa ibu rumah tangga tampak duduk bersama di satu teras tetangga, cerita tentang harga banjir, harga cabai sampai pekerjaan suami selalu bersatu tanpa selingan. Namun ketika mereka berpisah tidak ada makna maupun hitungan untung rugi, konon pula rekomendasi.
Namanya juga cerita-cerita, ya…sekadar melepas lelah atau mengurangi stress daripada ditelan sendiri, lebih baik berbagi. Satu kisah perbincangan menarik ternyata ada kaitannya dengan persoalan pekerjaan yang akan dinantikan untuk anak sebagai pengganti ayah.
Bu Margu; saya kepingin satu saat nanti anak saya cukup jadi guru sajalah, katanya kalau kuliah tentang guru tidak mahal biayanya.
Bu Markes; saya lagi bingung bu…. anak saya inginnya jadi dokter,
Bu Margu; wah itu bagus lah bu….kalau anak sudah ingin dan ibu kan memiliki kemampuan biaya, tinggal menguliahkan anak di fakultas kedokteran.
Bu Markes; itu masalahnya, ayahnya tidak setuju, profesi dokter itu bekerja di atas penderitaan orang lain.
Bu Marham menimpali; lho……apa kaitannya bu di atas penderitaan orang lain, kan kerja jadi dokter banyak uangnya.
Bu Markes; menurut ayah anak-anak bekerja profesi dokter itu mendapat imbalan atau uang dari orang yang sedang sakit, berarti dia sedang menderita, mengapa kita justru menerima uang darinya.
Ketiga ibu-ibu terdiam sejenak……mengangguk dan…….
Tak lama kemudian suasana hening menjadi buyar.
Bu Marham; oh……ya…ya…saya baru sadar ternyata saya juga sama.
Bu Margu; apa yang sama bu…….kok jadi heboh…..
Bu Marham; begini kami tadi malam juga baru mendiskusikan bersama suami tentang anak di rumah. Kami baru menghubungi teman ayah di kota rencananya tahun depan mau menguliahkan anak di fakultas Hukum, niatnya sih…agar anak kami ingin jadi pengacara terkenal, ya untuk merubah nasib.
Bu Markes; eh…..itu bagus keren lagi, tapi……
Bu Margu; tapi apa…..
Bu Marham; ia….saya baru sadar ternyata menjadi pengacara ahli hukum itu bekerja di atas penderitaan orang lain juga. Ketika orang punya perkara, punya masalah, bahkan punya sengketa seperti tetangga kita….dia mendatangi pengacara untuk minta bantu….tetapi ujung-ujungnya uang, lha…. itu juga sama bekerja di atas penderitaan orang lain.
Bu Markes; ya….ya…..ya……
Lagi-lagi suasana menjadi hening, tidak ada yang bicara sejenak (mungkin setan lewat).
Bu Margu; ya….kalau saya biarlah anak saya tidak mengapa jadi guru.
Bu Markes; kok ibu tetap kekeh dengan cita-cita anak jadi guru, memang nya apa sih bu istimewanya jadi guru.
Bu Margu; hem……..konon katanya jadi guru itu banyak ibadahnya, selalu sabar melihat anak yang macam-macam, sabar menghadapi orang tua wali yang macam-macam juga. Tetapi yang paling selalu dialami suami saya jadi guru itu sabar bila gajinya tidak atau belum dibayar…..
Bu Markes; oh….yang sabar lah ya buk.
Sejenak hening……lagi….diam seakan semua bicara dalam hati masing-masing.
Pekerjaan memang memiliki resiko, pekerja yang mendapat keterampilan tambahan kemudian memperoleh penghasilan maka itulah profesi. Bila seseorang melakukan pekerjaan dengan standart yang telah ditetapkan, kemudian memperoleh hasil seperti yang diinginkan, maka ia telah menjadi profesional. Tapi kita harus ingat salah satu ciri profesional itu adalah memilih satu pekerjaan dengan tidak memperbanyak bermacam pekerjaan.
Bu Margu; kalian tahu beda profesional dengan tidak profesional?
Bu Markes; tidak, apa coba bu?
Bu Margu; contoh dalam olah raga, bila pemain profesional berarti dia hanya tahu satu cabang olah raga dan ahli dalam bidangnya, bahkan ia mendapatkan pekerjaan atau berpenghasilan dari bidang tersebut.
Contoh pemain bulu tangkis maka dia tidak ahli pada bidang yang lain, atau memang tidak mendalaminya. Berbeda dengan kita, main bola kaki bisa, main bulu tangkis bisa, main tenis meja bisa, main apapun bisa tetapi tidak ahli dalam satu bidang, apalagi mendapatkan penghasilan darinya. Jelas…..jelas….
Bu Markes; Berarti Ebiet G.Ade lah pak paling sedih……..
Dua ibu-ibu; kompak; lho….apa hubungannya dengan Ebiet G.Ade bu………
Bu Markes; bayangkan beliau selalu melantunkan lagu ketika ada musibah datang…..itu lho di medsos, di televisi, dimana-mana kalau ada musibah seperti gemba, banjir, longsor atau apapun, pasti Ebiet G.Ade melantunkan lagu…..”Untuk Kita Renungkan”
Bu Margu; ya……berarti ……..ah….mari kita pulangkan saja ke niat masing-masing.
Bu Marham; benar….boleh jadi Ebiet tidak berniat seperti yang kita bayangkan, jadi memang benar semua tergantung niat dalam bekerja. Setuju…….
Benar saja ketiga ibu pulang ke rumah masing-masing, tidak ada rekomendasi yang ada hanya cerita sana cerita sini, sibuk memikirkan anak, ah….yang penting anakku sekolah, kuliah dan dapat kerja, mungkin dari sana nanti dia baru berniat untuk pilihan apa profesi nya. Mau jadi dokter, mau jadi hakim, mau jadi guru semuanya bila diniatkan untuk cari nafkah semoga ada manfaatnya.
Tiga hal hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah:
Pertama; profesi adalah pekerjaan yang dipilih dan bertanggungjawab terhadap berbagai risiko yang akan terjadi.
Kedua; semua pilihan atau profesi dalam pekerjaan pasti memiliki resiko, maka niatkanlah agar kita dapat bekerja untuk menafkahi keluarga, dan sekaligus menjadi ibadah.
Ketiga; profesi apapun dimuka bumi ini adalah pilihan, setiap pilihan memiliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu syukuri apa yang dimiliki, dan jadikan itu sebagai jalan mendapat keberkahan.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita mencari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari berbagai sumber.



















