Toleransi yang otentik terdiri atas lima sikap. Pertama, menyadari adanya perbedaan agama dan keyakinan. Kedua, memahami perbedaan yang ditunjukkan oleh sikap dan minat belajar agama lain, baik persamaan maupun perbedaan. Ketiga, menerima orang lain yang berbeda agama. Keempat, memberikan kesempatan dan memfasilitasi pemeluk agama lain untuk dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Kelima, membangun kerja sama dalam hal-hal yang merupakan titik-temu ajaran dan nilai-nilai agama yang bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa. (Abdul Mu`ti,2019:12).
Suatu ketika tahun 1994 saya pernah mendampingi sarjana calon pendamping program Impres Desa Tertinggal (IDT) di daerah Bekasi. Lima orang mahasiswa ditempatkan pada rumah penduduk, sedikit terkejut, ketika kami lihat bagian ventilasi udara pintu rumah tersebut ada gambar salib.
Kami bincang sebentar dengan bapak yang punya rumah, kemudian kami ditempatkan di kamar bagian belakang, ternyata di kabar dekat kamar mandi tersedia ruangan mushalla. Sungguh kami bertanya-tanya karena dalam satu rumah ada dua simbol agama yang berbeda.
Terjawab setelah kami ketahui bahwa bapak polisi pemilik rumah adalah orang Medan dan beragama Islam, sementara ibu istri pak polisi adalah beragama katolik. Mereka akur-akur saja, dan selama empat hari kami di lokasi mendapatkan pengalaman yang sungguh luar biasa terkait dengan kehidupan yang damai.
Pada tahun yang sama sosiolog agama dari IAIN Sumatera Utara menemukan gejala berbeda di Sumatera Utara, dimana satu kejadian seorang meninggal tidak dilihat atau diziarahi oleh abang kandungnya.
Setelah ditelusuri, ternyata hanya karena perbedaan faham adiknya berafiliasi pada organisasi Muhammadiyah sementara sang abang pengurus organisasi Al Washliyah.
Dalam sebuah seminar hal ini diungkap oleh Dr Ridwan Lubis MA, Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara waktu itu, bahwa boleh saja ini dialaskan karena sosio kehadiran agama di kedua daerah tersebut (Jawa dan Sumatera) sangat berbeda. Sehingga apa yang terjadi hari ini, adalah ekses dari latar belakang tersebut.
Tapi kita memahami, bahwa fakta di atas, adalah fenomena umum yang terjadi di dunia kita pada masa-masa tahun 1970-an, sampai 1990-an. Seiring dengan semakin berubahnya tantangan zaman, terlebih tantangan kehidupan, maka konsentrasi sosiologi pun terus berbeda.
Apa yang terjadi hari ini, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al Washliyah, Al Ittihadiyah dan organisasi keagamaan Islam lainnya bersama baik di Majelis Ulama Indonesia maupun pada aktivitas lainnya.
Awal tahun 1990-an dalam pendidikan kita kenal apa yang disebut empat pilar pendidikan Unesco yakni;
1. Learning to know (belajar untuk mengetahui)
2. Learning to do (belajar melakukan atau mengerjakan)
3. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
4. Learning to be (belajar untuk menjadi/mengembangkan diri.
Pilar ketiga belajar untuk hidup bersama memang merupakan jawaban dari gejala di atas, di mana perbedaan harus diakui, namun pengakuan tersebut diiringi dengan bersedia hidup bersama dalam perbedaan.
Apa yang dirumuskan oleh Unesco adalah pilar penting, namun dunia pendidikan harus menjadikan hal tersebut bukan sekadar semangat kurikulum atau tagline di berbagai kegiatan. Lebih dari itu harus diratifikasi menjadi political will kemudian political action.
Memahami betapa pentingnya hidup bersama, maka yang hidup di muka bumi Indonesia adalah juga harus mengerti bagaimana menggali akar budaya terkait nilai kebersamaan yakni toleransi.
Di sinilah kejelian seorang Prof Abdul Mu`ti mempertegas bahwa; toleransi ini terdiri atas lima sikap.
Pertama, menyadari adanya perbedaan agama dan keyakinan. Kesadaran ini ditunjukkan oleh sikap terbuka terhadap identitas diri dan keyakinan. Tidak ada usaha menutupi.
Kedua, memahami perbedaan yang ditunjukkan oleh sikap dan minat belajar agama lain, baik persamaan maupun perbedaan. Tanpa harus menjadi agamawan, sikap ini ditandai oleh keberanian memahami agama dari sumber utama, bukan interpretasi lahiriah pengamalan agama.
Ketiga, menerima orang lain yang berbeda agama. Sikap ini ditunjukkan dengan penghormatan atas keyakinan dengan tetap menjaga kemurnian akidah, menghindari sinkretisme atau pluralisme yang menyamakan semua agama.
Keempat, memberikan kesempatan dan memfasilitasi pemeluk agama lain untuk dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Termasuk dalam sikap ini adalah mempermudah pendirian tempat ibadah, bukan mempersulit dengan alasan birokratis-politis.
Kelima, membangun kerja sama dalam hal-hal yang merupakan titik-temu ajaran dan nilai-nilai agama yang bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa. Misalnya kerja sama dalam bidang anti korupsi, penyalahgunaan narkoba, perdagangan manusia, pengrusakan lingkungan hidup dan sebagainya.
Kita yakin, bila kelima hal di atas dapat diteruskan dalam bentuk kegiatan yang lebih nyata, maka tidak ada lagi masalah pada masyarakat.
Atas dasar kemanusiaan maka siapa yang ditimpa musibah pasti mendapat simpati dari seluruh warga, terlebih keluarga.
Tetapi juga ketegasan batas agama juga terus dijaga dan terpelihara, bukan hanya untuk satu daerah, mungkin satu rukun warga, terlebih dalam satu rumah tangga.