Tantangan pendidikan abad ke-21 menuntut transformasi mendasar pada cara pendidik merancang proses belajar. Pembelajaran tidak lagi cukup berfokus pada transfer informasi, tetapi harus mendorong kemampuan berpikir tingkat tinggi, kreativitas, kolaborasi, literasi digital, dan kemandirian belajar.
Dalam konteks ini, dua pendekatan yang semakin relevan adalah Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) dan Brain Based Teaching (BBT). Keduanya berorientasi pada bagaimana peserta didik memahami, mengolah, dan menginternalisasi informasi secara bermakna, serta bagaimana strategi belajar dapat selaras dengan cara kerja otak manusia.
Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) lahir dari kebutuhan untuk mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran tradisional yang menekankan hafalan (surface learning).
Selama bertahun-tahun, pendidikan di banyak negara lebih menekankan penguasaan fakta, prosedur, dan pengulangan mekanis. Dampaknya, siswa mudah lupa materi, kesulitan menerapkan pengetahuan pada konteks baru, dan kurang memiliki kreativitas serta kemampuan berpikir kritis.
Perkembangan teknologi, digitalisasi, dan globalisasi juga menuntut lahirnya peserta didik dengan kompetensi abad 21 seperti critical thinking, creativity, collaboration, communication, serta literasi digital.
Riset psikologi kognitif memperkuat urgensi pembelajaran mendalam (Deep Learning). Teori Ausubel menegaskan bahwa belajar bermakna terjadi ketika peserta didik menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
Pemrosesan mendalam melalui elaborasi, refleksi, dan sintesis menghasilkan penyimpanan yang lebih kuat di memori jangka panjang. Sementara itu, kurikulum modern seperti Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek, pemecahan masalah, dan pengalaman autentik.
Deep Learning kemudian menyediakan kerangka pedagogis yang menempatkan siswa sebagai agen belajar aktif melalui inkuiri, kolaborasi, eksperimen, dan refleksi.
Selain kebutuhan pedagogis, kemajuan ilmu neurosains juga memberikan fondasi penting bagi perubahan paradigma pembelajaran. Dalam dekade 1990-an yang dikenal sebagai The Decade of the Brain, teknologi MRI, fMRI, dan PET Scan memungkinkan ilmuwan memetakan bagian otak yang terlibat dalam belajar, memori, emosi, serta bahasa.
Temuan penting menunjukkan bahwa otak belajar secara multisensori, sangat dipengaruhi emosi, plastis (dapat berkembang), dan memperkuat sinapsis melalui aktivitas bermakna. Pengetahuan inilah yang melahirkan pendekatan Brain Based Teaching (BBT).
Brain Based Teaching (BBT) berkembang sebagai respon terhadap praktik pembelajaran tradisional yang cenderung menempatkan siswa pasif, duduk lama, minim gerak, dan sedikit interaksi.
Padahal otak manusia membutuhkan pengalaman konkret, keterlibatan emosi positif, hubungan interpersonal yang aman, serta aktivitas multisensori untuk mencapai kondisi optimal.
Penelitian Antonio Damasio menunjukkan bahwa emosi berperan besar dalam pengambilan keputusan dan pembentukan memori. Oleh karena itu, Brain Based Teaching (BBT) menekankan lingkungan belajar yang aman secara emosional, kaya interaksi, dan memberikan motivasi yang sehat.
Selain aspek emosional, Brain Based Teaching (BBT) juga berakar pada mekanisme pembentukan memori. Otak menyimpan informasi lebih kuat ketika materi diproses melalui berbagai indera, diulang secara terjadwal (spaced repetition), dan dikaitkan dengan pengalaman nyata.
Brain Based Teaching (BBT) tidak hanya mengembangkan ranah kognitif (neokorteks), tetapi juga ranah emosi (lower brain), kreativitas (right brain), logika (left brain), serta fungsi eksekutif di prefrontal cortex.
Dengan demikian, pembelajaran yang menyentuh keseluruhan sistem otak akan meningkatkan efektivitas belajar.
Kedua pendekatan Deep Learning dan Brain-Based Teaching memiliki titik temu yang kuat. Deep Learning membutuhkan kondisi otak yang optimal untuk melakukan proses berpikir tingkat tinggi seperti analisis, sintesis, dan evaluasi.
Sementara itu, Brain Based Teaching (BBT) menyediakan landasan biologis mengenai bagaimana kondisi ideal belajar dapat diciptakan, termasuk lingkungan emosional positif, stimulasi multisensori, dan pembelajaran kontekstual. Kedua pendekatan sama-sama menolak pembelajaran hafalan dan pasif, serta mendorong pembelajaran yang reflektif, bermakna, dan kontekstual.
Sinergi antara Deep Learning dan Brain Based Teaching (BBT) terlihat jelas dalam penerapan pembelajaran. Misalnya, dalam proyek berbasis masalah (PBL), siswa diajak mengkaji isu nyata, berdiskusi, dan menyusun solusi kreatif.
Deep Learning berperan memastikan siswa terlibat dalam pemikiran mendalam, sementara Brain Based Teaching (BBT) memastikan kegiatan difasilitasi melalui stimulasi multisensori, suasana yang aman, dan aktivitas kolaboratif yang memicu fungsi eksekutif otak.
Dalam praktik di kelas, sinkronisasi kedua pendekatan dapat diwujudkan melalui strategi seperti mind mapping, diskusi reflektif, eksperimen, simulasi, pembelajaran berbasis proyek, permainan edukatif, penggunaan media multisensori, serta integrasi gerak dan musik.
Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi, tetapi sebagai fasilitator yang merancang pengalaman belajar yang memicu pemikiran mendalam sekaligus ramah terhadap cara kerja otak.
Tema inilah yang diangkat oleh Penulis dalam workshop pembelajaran mendalam di SDIT Syahiral ‘Ilmi Bukittinggi pada hari Sabtu tanggal 8 November 2025.
Secara keseluruhan, Pembelajaran Mendalam dan Brain Based Teaching berasal dari latar belakang berbeda yang satu berakar pada kebutuhan pedagogis abad 21, yang lain pada temuan neurosains tentang cara otak belajar.
Namun keduanya berpadu menjadi fondasi penting dalam pengembangan pembelajaran modern yang humanis, adaptif, dan efektif. Kolaborasi keduanya memberikan arah bahwa pendidikan masa depan harus selaras dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk berpikir, merasa, dan terus bertumbuh.


















