Perwalian baik atas orang maupun barang dalam perkawinan sangat dibutuhkan. Tanpa adanya perwalian akan terjadi kesulitan dan kerancuan dalam melaksanakan hukum, tetapi dengan adanya perwalian penguasaan dan perlindungan atas orang atau barang yang ada di bawah perwaliannya akan dapat diurus dengan baik sesuai dengan aturan yang terdapat di dalam undang-undang atau hukum Islam.(Akmaluddin Syahputra, 2014:3).
Hidup ini tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan, kadang hidup berjalan sendiri tanpa kendali si pemilik diri, boleh jadi itu sengaja atau tidak disengaja, tetapi itulah hidup.
Untuk mengarungi hidup kita sebenarnya tidak sendiri, tetapi justru kadang sebagian di antara kita lari dari kenyataan dengan memilih untuk berdiri di atas kaki sendiri, atau justru menyendiri jauh dari orang lain. Inilah bagian yang justru kadang menjadi masalah dari sisi hukum khususnya hukum perwalian.
Fitrahnya manusia itu lahir pasti mempunyai ibu, juga ayah atau lingkungan keluarga, masyarakat yang ada di sekitarnya. Kelahiran mengiringi siapa yang menjadi perwalian, dengan itu pula seseorang berhak mendapatkan perlakukan, untuk dilindungi, diberi perlindungan atau dikuasakan.
Jadi ketika seseorang mulai mengerti arti hidup maka justru yang pertama bukan untuk hidup sendiri, tetapi ia harus menyadari ada ibu yang melahirkan, ada ayah yang memiliki tanggung jawab dan ada lingkungan yang saling membantu.
Perwalian lahir dari hukum bagaimana persoalan tanggung jawab pada diri kita harus menggunakan orang lain, ini dipaksa atau tidak namun hikmah dari makna itu akan terasa.
Dr Akmaluddin Syahputra SAg MHum mengamati bahwa banyak masalah pada anak yang terkait dengan perwalian, menurut beliau bahwa; berbagai permasalahan muncul, khusus pada anak maka permasalahan yang muncul dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok.
Yaitu Anak yang meninggal dunia; Anak yang membutuhkan pertolongan medis; Anak yang membutuhkan basic life support (makan, minum, rumah) dan; Anak yang membutuhkan advanced life support (pengasuhan, perwalian, dan adapsi).
Atas dasar kepedulian di mata hukum, terlebih dalam hal moral dan agama, maka perwalian tentang anak terus dilakukan dengan cara-cara yang baik.
Siapa pun yang ada di dunia ini, di lingkungan sekitar kita, apalagi di rumah tangga, maka satu sisi ia harus menempatkan diri sebagai seorang wali. Wali tidak mesti pada anaknya sendiri tetapi juga pada anak diluar kandungnya.
Sekali lagi, Akmaluddin menegaskan, seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan tertentu menurut undang-undang dibenarkan untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut.
Ini adalah penting, karena seseorang akan benar-benar menjadi dirinya bila ia memiliki wali yang melindungi. Cerita wali dan tanggung jawab memang bukan sekadar fitrah pada diri atau seseorang, bahkan barang sekalipun memerlukan hukum.
Inilah produk hukum dalam peradaban manusia yang terus berkembang sampai kapanpun. Kita sepakat di mana setiap orang pasti memiliki orang lain dan barang yang menjadikan dirinya mendapat status dan terlindungi oleh hukum.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.



















