Deskripsi sebagai suatu “peta” peristiwa tidak memuat semua fakta yang terinci, tetapi terbatas pada yang relevan untuk menggambarkan peristiwa itu. Lagi pula penyeleksian fakta tergantung pada pendekatan yang dipergunakan; jadi, aspek mana yang diutamakan. Selanjutnya alat-alat analitis ilmu-ilmu sosial dapat membantu menyeleksi data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan bagi penyusunan deskripsinya. (Sartono Kartodirdjo, 1992:5).
Satu keadaan dapat diabstraksinya menjadi narasi, namun dalam logika keilmuan positif diawali dari angka, data dan kemudian fakta. Bayangkan sebuah kerumunan pembelajaran di kelas dapat dijadikan angka, yakni 27 orang dalam kelas, selanjutnya dapat dijadikan data yakni 1 orang dosen dan 26 mahasiswa, boleh juga 21 perempuan dan 17 laki-laki, dan seterusnya.
Dari data inilah kemudian dilakukan berbagai nilai yang mengiringi yakni fakta dengan menuliskan bahwa perempuan lebih banyak daripada laki-laki, atau fakta kedua yakni laki-laki lebih sedikit daripada perempuan, boleh juga perbandingan dosen dengan jumlah mahasiswa sudah sesuai dengan standar Rasio Dosen dan Mahasiswa (RDM) yakni 1: 26.
Perjalanan logika kita dari angka, data dan fakta, tidak berhenti sampai disini, karena banyak hal terkait dengan apa yang kita dapatkan, kita temukan tetapi yang lebih utama ternyata apa yang akan kita sampaikan.
Boleh saja kita mendapatkan fakta di atas sudah lama bertahun-tahun terjadi, dan kemudian ditemukan tidak ada perubahan, dan kini tujuannya untuk apa ini kita lakukan.
Atas dasar itulah maka berita dapat diberi nilai apakah untuk kepentingan mempertahankan fakta di atas, atau untuk memperbaiki agar lebih baik, atau justru untuk menjadikannya sebagai isu yang perlu dipertanyakan.
Sartono mencoba memberikan alur logika bagaimana sebuah peristiwa yang dipahami sebagai runtutan kejadian satu dengan kejadian lain adalah gejala tunggal, dapat berhubungan, atau justru bertolak belakang.
Menurut beliau bahwa deskripsi sebagai suatu “peta” peristiwa tidak memuat semua fakta yang terinci, tetapi terbatas pada yang relevan untuk menggambarkan peristiwa itu.
Dalam hal ini kita sudah mulai mengerti bahwa fakta itu adalah nyata berdasarkan data, tetapi ketika akan diungkapkan sudah diberi nilai untuk apa tujuan diungkapkan, dan kemana arah penyampaian.
Pada tahap berikutnya menurut Sartono khususnya untuk mengungkap fakta apalagi dalam kajian sejarah, maka penyeleksian fakta tergantung pada pendekatan yang dipergunakan; jadi, aspek mana yang diutamakan.
Di sinlah tampak nyata, dari angka kita boleh memberi pembenaran, dari data kita diajak setuju, ketika fakta kita sudah digiring untuk menerima nilai, dan akhirnya deskripsi atau narasi sebuah berita sadar atau tidak kita telah tergiring pada satu opini.
Dalam kajian ilmuan tentang angka, data, fakta sampai berita ini sangat penting, semuanya memiliki tahapan dan tujuan. Oleh Sartono sekali lagi menegaskan bahwa selanjutnya alat-alat analitis ilmu-ilmu sosial dapat membantu menyeleksi data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan bagi penyusunan deskripsinya.
Jadi ternyata ilmu-ilmu sosial itu adalah persoalan memberi nilai agar lebih obyektif, agar lebih universal dapat diterima oleh banyak orang, karena kaidah aksiologinya adalah untuk kemaslahatan ummat.
Dalam ilmu sosial ada yang disebut demokrasi, kita harus berpikir ulang di mana posisi angka apakah bisa mengawali, saat kapan kita temukan data boleh jadi selalu berubah, dan catatan tentang fakta selalu tampil beda sesuai siapa penulisnya.
Demokrasi adalah bagian dari ilmu sosial, bila ditelusuri lebih jauh siapa yang menulis, dan siapa yang ditulis selalu memberi nilai dan mereka sendiri menyadari hal ini. Kini tergantung kita apakah ilmu sosial tetap menjadi panglima dalam menyelesaikan masalah, atau logika epistimologinya yang sudah jauh dari harapan kita.
Kita sadar bahwa manusia adalah makhluk sosial, maka apapun yang mendeskripsikan kita terimalah dan sadarilah itu semua adalah sebuah deskripsi entah siapa saja di sekeliling kita.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.