Tugas mengajar adalah bagian dari hidup yang dinikmati oleh Pak Marmuj. Sepertinya tiada hari tanpa mengajar, justru pernah satu kali ada libur panjang, Pak Marmuj bukannya senang dan gembira, tetapi ia seperti linglung tak tahu apa yang hendak dibuat.
Setiap berjalan rasanya ingin membawa buku pelajaran, setiap bicara perasannya ingin menyampaikan pesan pembelajaran, bahkan setiap jumpa anak seakan ia ingin menyapa untuk duduk bersama di kelas.
Itulah kehidupan Pak Marmuj, semakin hari semakin tua, iapun kadang kala tidak sadar bahwa hampir 20 tahun mengajar, tak ada lelah, apalagi ingin istirahat.
Jangan sekali-kali kita bicara tentang pensiun, Pak Marmuj seakan marah, apalagi pindah profesi, lebih parah bila dikaitkan pendapatan atau gaji yang dibanding-bandingkan dengan lainnya. Itulah kehidupan Pak Marmuj yang sangat mencintai guru sebagai pilihan pekerjaan atau profesi.
Pada suatu hari semangat Pak Marmuj masuk kelas baru, menjadikan ia ingin menyampaikan banyak hal. Pengalaman yang selama ini didapatkan, ingin segera disampaikan, dan akrab dengan semua anak.
Memang kadang kelas baru memberi semangat baru, inspirasi baru, bukan karena ada anak-anak yang baru dikenal, tetapi naluri seorang guru ingin rasanya menumpahkan seluruh ilmunya.
Inilah hari di mana Pak Marmuj masuk kelas baru, sebuah kisah yang ia sendiri kadang sadar, tetapi justru kadang selalu terulang.
Hari pertama di kelas baru Pak Marmuj menjelaskan tujuan pembelajaran dengan sangat sistematis. Anak-anak tampak semangat tetapi sebagian ada duduk gelisah, persisnya anak yang duduk di depan.
Hari kedua mengajar di kelas yang sama Pak Marmuj semakin semangat menjelaskan. Anak-anak sebagian duduk di depan, tetapi sebagian yang lain justru duduk di tengah dan di belakang.
Hari ketiga di kelas itu juga, Pak Marmuj semakin menambah volume suara, diiringi semangat untuk menyampaikan pelajaran. Anak- anak justru semua duduk di tengah dan di belakang.
Keadaan tempat duduk anak yang berpindah-pindah mengundang kecurigaan Pak Marmuj.
Ada apa gerangan……
Sebelum masuk hari keempat Pak Marmuj pun mengalami kebingungan yang luar biasa, ingin bertanya pada anak-anak tentulah ia malu, karena ia baru saja mengajar di kelas baru tersebut. Tidak bertanya justru semakin penasaran, mengapa anak-anak duduk bergeser ke belakang.
Ketika istirahat, Pak Marmuj duduk di ruang guru dekat dengan guru yang lebih senior (Pak Gusen), sambil ngobrol ringan. Pak Marmuj mencoba membuka cerita tentang anak-anak yang duduknya pindah ke belakang.
Pak Marmuj : Pak Gusen masih sehat
Pak Gusen : Sehat, kalau masih bisa ngajar, masih sehat, kita kan guru.
Pak Marmuj : Pak pernah mengalami murid pindah-pindah duduk di kelas
Pak Gusen : wah… selalu, kadang mereka pindah karena keinginannya sendiri, kadang memang saya yang memindahkan.
Pak Marmuj : #()^%mqkwuenyq pqkq_(*(*^
: Maksudnya bagaimana pak Gusen
Pak Gusen : Ya ia, kadang siswa pindah tempat duduk, itu wajar, kan setiap belajar harus mendapatkan suasana baru, mungkin saja setelah 25 menit duduk ia ingin pindah tempat duduk, selagi itu tidak menganggu pembelajaran boleh saja.
Kadang juga memang kita menggunakan satu strategi pembelajaran agar anak-anak duduk pindah dari satu tempat ketempat lain, kan lebih semangat mereka ada teman baru, atau diskusi kelompok.
Pak Marmuj : iya…. ya….. (mulai mikir).
: Tapi ini Pak Gusen, pernah nggak anak-anak tidak mau duduk di depan, semua pada pindah duduk di belakang.
saya mengalami yang seperti itu Pak.
Pak Gusen : ha.hahahahhahahhahahha.
Saya pasti tahu masalahnya…..
Pak Marmuj banyak bicarakan di depan kelas, atau di depan anak anak.
Pak Marmuj : Tepat pak. ……. kalau saja jelaskan mereka malah bingung, malah duduk di belakang, padahal suara saya kuat. Ada apa ya Pak Gusen.
Pak Gusen : (sambil berbisik)
Itu karena Pak Marmuj kalau menjelaskan sambil terjadi gerimis kecil. Makanya anak-anak tak mau duduk di depan. Pasti itu.
Pak Marmuj : hem…. mungkin juga…. e salah. Ya pasti mungkin…. e….. ya pasti benar ini jawabatannya.
Pak Gusen : Sudah… ini sebentar lagi kita masuk kelas jam keempat, ayo siap-siap
Seperti baru sadar Pak Marmujnpun tersipu malu. Keesokan harinya, ia melihat anak-anak duduk rapi tetapi tidak ada yang di depan.
Ia mencoba mendekati mereka dengan bicara sedikit terbata, tetapi rapi dan tidak lagi ada hujan gerimis.
Hari kelima anak-anak kembali seperti semua, Pak Marmuj pun mulai merubah strategi pembelajaran bukan mengandalkan suara lewat bicara, tetapi lebih kepada memberi kesempatan pada mereka. Kadang justru memberi contoh langsung atau praktik di lapangan.
Sungguh pengalaman mengajar dengan semangat tidak menjadi jaminan sukses untuk mencapai satu tujuan, ternyata tergantung situasi, dan kita harus menyadari itu.
Hari-hari berikutnya pembelajaran dikembangkan oleh Pak Marmuj semakin efektif, ia selalu mengupdate berbagai strategi yang efektif. Bila materi bersifat fakta ia cukup memberi tugas untuk dibaca, bila itu fenomena ia menyuruh anak menyelidiki dengan tugas di rumah kemudian mendiskusikannya. Dan apabila materi itu bersifat normatif, justru anak diajak merenung dan melakukannya.
Akhirnya Pak Marmuj menyimpulkan pembelajaran yang paling efektif adalah dengan sedikit bicara, bahkan memberi tauladan kepada siapa saja yang ada di depan kita justru itu yang utama.
Sekian
Tiga hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah:
Pertama; suara bagi seorang guru adalah senjata utama untuk menyampaikan pesan, dengan suara kita dapat memanipulasi agar pesan pembelajaran dapat tersampaikan dengan baik.
Kedua; banyak cara atau strategi untuk mencapai suatu hal, pilihan kita secara bijaksana akan memberi efektifitas tercapainya tujuan pembelajaran. Justru dalam pendidikan bicara atau lisan adalah pilihan terakhir untuk sekedar memberi penguatan.
Ketiga; pembelajaran yang efektif adalah dengan mencontohkan, memberi pilihan untuk bahan pemikiran (diskusi), dan pada bagian akhir guru cukup sedikit berbicara hanya untuk memberi penegasan.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita bercari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari berbagai sumber