Zaman dulu murid merasa berat bangun pagi
Memakai seragam sekolah terasa tegang di hati
Karena anak itu tahu sesaat lagi
Ia akan masuk ruang kelas yang menakuti
Zaman dulu setiap kesalahan dikenai hukuman
Setiap pertanyaan dipermalukan
Relevansi dari ajaran semakin membingungkan
Dari hari ke hari ia semakin ketinggalan
Bukan hanya anak yang ketakutan
Ibu gurupun tak bisa nafas mengejar pembelajaran
Materi ajar seakan kereta tanpa batas kecepatan
Beban birokrasi membuat guru seperti tahanan
Tetapi dalam hati setiap anak ada mimpi yang tersembunyi
Keingingan untuk belajar tanpa dihakimi
Kepercayaan kuat bahwa dia punya kompetensi
Keinginan untuk dilihat sebagai manusia mandiri
Dan setiap guru punya firasat di dalam hati
Bahwa mungkin metode kuno sudah tidak relevan lagi
Bahwa belajar sepanjang hayat tidak mungkin bisa diproduksi
Dengan kekauan, dengan hafalan dan standarisasi
Baik anak maupun guru harus diberikan ruang
Untuk berkreasi berinovasi bahkan untuk berjuang
Ruang kelas menjadi panggung dan juga peluang
Untuk menemukan jati diri setiap orang
Pada hari ini kita semua bergabung
untuk melihat apa yang terjadi kalau murid dan guru diberikan panggung
untuk membuktikan bahwa kreativitas dan kolaborasi sama pentingnya dengan berhitung
karena inilah resep yang membuat mimpi setiap anak melambung
Bapak dan ibu proses transformasi membutuhkan sabar hampir lima tahun kami menanam akar, baru sekarang mekar, ditangan anda semua saya titipkan merdeka belajar.
(Nadiem Makarim, 2024)
Puisi sebagai penutup Menteri Pendidikan ketika pamit ke Komisi X DPR RI tentu menyentuh para pendidik baik di kota maupun di desa.
Menerawang dari zaman sejarah, bahwa pendidikan selama ini menghasilkan berbagai permasalahan, tetapi Nadiem cukup dari kelas menyampaikan bahwa anak dan guru sedang ada masalah, atau sedang tidak baik-baik saja.
Dengan pangakuan yang tulus disebabkan oleh biroraksi yang sangat panjang, bahkan kemerdekaan dikebiri. Tanpa kompromi, pembenahan diawali dari kementrian, kemudian kantor-kantor wilayah dan daerah, beriringan dengan membentuk birokrasi yang baik.
Di sisi lain, inovasi diberikan ruang pada guru dimana mereka lewat merdeka belajar, seakan saat inilah kita baru merdeka sejak tahun 1945.
Merdeka berbuat, merdeka berkreasi, dan merdeka berinovasi.
Guru hari ini benar-benar ditantang, berbuatlah selagi itu masih dalam hal dunia pendidikan, mungkin maksudnya tetap di sekolah jangan cerita politik.
Guru sedang diberi ruang untuk berkreasi, apakah dengan media, strategi dan metode pembelajaran baru, bahkan aplikasi atau star-up mendapat tempat dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Ini sekaligus menggusur hal-hal kuno sudah tidak ikut lagi dalam kereta pembelajaran.
Inilah balutan 26 episode merdeka belajar baik dari kebijakan sampai modul teknis bagaimana guru di kelas. Tentu benar ini bukan keberhasilan tim manajemen di Senayan saja, tetapi dari kementerian, provinsi sampai guru disudut wilayah semuanya adalah bagian penting dari upaya kesolidan tim kereta pendidikan hari.
Hampir semua visi kementerian menjadi kenyataan, dan diakui tidak semua dapat terwujud apakah karena hanya lima tahun, tetapi paling tidak ada sesuatu yang telah diperbuat.
Kita percaya puisi bukanlah sekadar susunan kata yang dirangkai untuk menyindir, menyimpulkan atau sekadar basa basi. Puisi ini penuh makna karena memang dibaca pada saat perpisahan seorang menteri dengan mitra kerjanya.
Kata “saya titipkan” mungkin bisa saja pamitnya seorang non akademisi yang telah menjadi kepala birokrasi pendidikan akan kembali ke dunia aslinya.
Sejarah pendidikan yang menyatu dengan sejarah Indonesia, seakan terputus oleh adanya merdeka belajar yang menganggap masa depan dapat digapai tanpa tali penyampai.
Mungkin inilah rumusan mereka yang merasa dirinya tuan rumah pada generasi Z, dan kita semua dianggap tamu atau sekedar pendatang di teras rumah.
Hemmmmm. Entahlah
……
Bacalah puisi di atas 26 kali, semoga yang ke 27 kita dapat benar-benar kembali ke dunia pendidikan sebagaimana leluhur kita membangun anak bangsa.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.