Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang teleologis, bertujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah ialah bertumbuh menuju ke tingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan terwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan, misalnya; iklim, makanan, kesehatan, keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia. (Syam, 1984:40).
Bila semua yang kita lakukan memiliki dimensi teleologis, maka kita akan mendapatkan hikmah dari apa saja yang terjadi, mungkin saja dalam berkeluarga, bekerja, mendidik maupun lainnya. Mengapa mesti teleologis, karena muara kehidupan akan selesai bila disandarkan pada supra sistem dari diri kita sendiri, bayangkan diri kita adalah hanya wayang dari dalang yang lebih berkuasa, maka jalani dan nikmati.
Hidup berkeluarga, bila didasari dengan niat ingin menambah keturunan agar meneruskan generasi yang mampu berinteraksi saling membahagiakan, maka langkah awalnya adalah penyamaan persepsi tentang arti hidup dan bahagia. Pasangan hidup kita adalah orang yang dapat diajak untuk memberikan makna apa itu interaksi, saling berhubungan, saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling mengingatkan inilah potensi awal yang secara alamiah dimiliki oleh semua pasangan hidup.
Tujuan akhir dari berkeluarga tiada lain adalah untuk bersama mengabdi abdi Tuhan, bukan sekadar ibadah bertambah pahala, lebih dari itu kelengkapan sebagai hamba Allah menjadi nyata, karena kehadiran orang lain yang dicintai. Hidup untuk bekerja tentu diawali dari upaya pemenuhan kebutuhan makan, sandang, papan dan seterusnya, tetapi tidak berhenti sampai di sini.
Bekerja untuk makan yang didapat adalah kebugaran, bekerja untuk sandang, yang diperoleh adalah gaya dan penampilan, bekerja untuk papan selalu terukur dari kemewahan. Ketiga hal di atas sangat subyektif, sehingga tidak ada ukuran akhir dari keberhasilan hidup bekerja, maka kita diingatkan bekerja untuk hidup agar mudah melaksanakan ibadah.
Kesehatan yang dimiliki dengan kepribadian yang mandiri adalah kemudahan untuk melaksanakan ibadah kapan saja, di mana saja dan berbagi bersama itulah puncak kebahagiaan. Sekali lagi niat bekerja adalah untuk ibadah walaupun ada hal lain di tengah tengahnya.
Hidup untuk mendidik itu naluri yang tidak dapat dipungkiri, karena kita dapat hidup dari orang yang sebelumnya memberikan pendidikan. Tetapi anehnya kita bukan diminta untuk berbalas budi dengan mendidik orang yang telah mendidik kita, justru kita menerima dan meneruskan dengan cara berterima kasih.
Kata terima kasih bermakna rasa syukur kita terhadap orang yang telah mendidik kita, sehingga balas budi diiringi doa agar orang tersebut mendapatkan kebahagiaan. Tidak ada alasan lain bahwa tugas mendidik adalah kebutuhan manusia dan sangat teleologis karena itu lakukan lah mendidik dengan niat yang ikhlas semata untuk mengembangkan potensi alamiah agar berkah dalam beribadah.
Pendidik inspiratif adalah sebuah proses yang terus berkembang dari kegiatan karena kebutuhan, karena alasan alamiah, dan akhrnya bertujuan secara teologis yakni untuk ibadah. Bagi pendidik inspiratif memaknai hidup memang terus berkembang, dari awal mengalami pendidikan, kemudian melakukan upaya terima kasih, dan akhirnya mau berbagi di sanalah lahir kedewasaan dan kematangan sebagai seorang pendidik yang sejati.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.