Di balik bahasa lokal Bahasa Melayu tersimpan sejumlah kekayaan makna dan nilai-nilai kehidupan termasuk kearifan lokal yang pernah diwariskan oleh generasi terdahulu. Oleh karena itu sudah selayaknya kekayaan rohani yang nyaris tenggelam tersebut digali, dideskripsikan dan dimanfaatkan demi kehidupan mental, karakter dan kepribadian generasi baru pewaris nilai-nilai masa lalu yang memang perlu dilanjutkan. (Faridah, 2016:3).
Mulutmu harimaumu, artinya hati-hati bicara karena bahasa kita adalah cermin diri kita pada orang lain.
Apanya yang apa-apa, orang nggak diapa-apain ko`, makanya jangan terlalu apa-apalah, udah nggak apa-apa. Itu adalah bahasa Medan, bahasa kita yang sama-sama tahu tinggal di Medan.
Hari ini apakah kedua pernyataan di atas masih ada di sekitar kita, atau sudah tersimpan di arsip, atau bahkan hilang ditelan masa? Bagi kita yang hidup sebelum tahun 2.000 merasa memiliki kedua pernyataan di atas itu sungguh memberi makna yang begitu mendalam.
Karena kita hidup berinteraksi dengan orang lain, maka perlu aturan atau tuntunan dalam bergaul bermasyarakat, terlebih dalam bertatakrama khususnya berbicara dengan orang lain.
Setiap kata punya makna, apalagi kalimat pasti mengandung seribu pesan, bahkan untaian bait bisa memberi sejuta kebijaksanaan. Itulah petuah zaman dulu di mana Melayu menjadi tuan rumah adat untuk saling memberi nasihat kepada siapa saja yang tinggal di kota Medan.
Melayu Medan itu berbeda dengan Melayu lainnya, mungkin inilah salah satu pertimbangan kongres bahasa Indonesia kedua diselenggarakan di ibukota Sumatera Utara ini.
Memang hal di atas masih cerita sebelum tahun 2000-an, apa yang terjadi hari ini, media, teknologi, bisnis serta migrasi adalah ancaman bagi persoalan budaya dan bahasa Melayu.
Doktor Faridah sebagai ahli linguistik menyadari hal ini, menurut beliau sudah selayaknya kekayaan rohani yang nyaris tenggelam tersebut digali, dideskripsikan dan dimanfaatkan demi kehidupan mental, karakter dan kepribadian generasi baru pewaris nilai-nilai masa lalu yang memang perlu dilanjutkan.
Hari ini sudah 25 tahun kita hidup di era tahun 2000-an, apakah kita masih khawatir terhadap perkembangan bahasa Melayu, sungguh mungkin ini bukan saatnya untuk meratapi apa yang terjadi.
Kebangkitan bahasa Melayu sudah tampak, dengan memanfaatkan berbagai media sosial, konten kreator, para youtuber, juga tiktoker memberi apresiasi terhadap bahasa Melayu.
Artinya kita tidak mesti antipati terhadap kehadiran teknologi, apalagi migrasi penduduk, namun kolaborasi adalah sebuah jawaban untuk bangkit kembali.
Pesan penting dari Doktor Farida bahwa kehidupan mental, karakter dan kepribadian generasi muda saat ini, adalah tanggung jawab kita bersama.
Beliau meyakinkan bahwa dengan bahasa Melayu dapat dijadikan instrumen membangun kembali nilai-nilai spiritual untuk membentengi adat dan budaya. Melayu semakin kuat, dan kota Medan semakin hebat.
Ini Medan Bung, bukanlah kata yang menunjukkan kesombongan, tetapi pernyataan bahwa kita adalah bagian dari Melayu yang menjaga kearifan lokal sebagai kekayaan bangsa.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.