Jika kita mencirikan ilmu empiris hanya dengan struktur formal atau logis pernyataan-pernyataan, kita tidak akan dapat menyisihkan darinya bentuk metafisika lazim yang dihasilkan melalui pengangkatan sebuah teori ilmiah yang usang menjadi teori kebenaran yang tak terbantah. (Popper, 2008:25).
Ilmu pengetahuan dibangun atas dasar pengalaman empiris dari kehidupan sehari-hari, dan logika formal dari teori sebelumnya sebagai penyangga. Mana yang duluan antara pengalaman dan logika, sesungguhnya perdebatan itu perlu tetapi lebih utama adalah mana yang lebih efektif dan bermanfaat bagi orang banyak.
Para ilmuwan yang berkutat dengan deduktif, selalu mendahulukan teori, mereka sebut saja Bertrand Russel secara ketat dan formal tidak membolehkan sesuatu diterapkan sebelum selesai dalam tataran logika.
Dari sejak premis mayor yang harus dibaca sebanyak-banyaknya, kemudian premis minor serinci-rincinya, akhirnya dari perdebatan panjang barulah dirumuskan satu aras keilmuan sebuah thesa baru.
Semua itu dapat dilakukan di laboratorium atau di kelas, jadi wajar segudang buku, dan berlama-lama membaca, dilengkapi dengan perdebatan panjang di mimbar ilmiah dapat melahirkan berbagai dalil atau postulat.
Akan halnya dengan Aristoteles, ilmu itu bukan dari kepuasan logika, tetapi bagaimana kemampuan kita menangkap fenomena di lapangan, sekaligus menghubungkan antara satu fakta dengan fakta lain, maka lahirlah satu teori baru.
Sederhananya memang induktif itu mengajarkan kita untuk selalu teliti dalam setiap gejala, akhirnya kita dapat mengukur, menghitungkan dari thesa, kemudian antitesa, dan akhirnya lahir berbagai sintesa.
Tidak ada habisnya diskusi antara logika induktif dan deduktif sebagai aras keilmuan, namun keduanya bila disandingkan akan menjadi kekuatan luar biasa dalam keilmuan. Ilmu apapun yang akan kita kembangkan selalu berangkat dari fakta, di akhiri dengan fakta, apapun teori di tengah-tengahnya.
Jadi jelaslah anggaran membangun laboratorium itu perlu tetapi melatih tenaga untuk menangkap gejala alam atau fenomena masyarakat yang ada di muka bumi itu lebih utama.
Dalam filsafat ilmu, memang ontologi selalu menggiring kita untuk menerawang sejauh mungkin apa saja yang dapat kita pikirkan, rasakan dan mungkin kita jangkau dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya kita diajak untuk terus berusaha sampai menyadari bahwa usaha itu ternyata memiliki keterbatasan, jadi ontologi mengajarkan kita sesungguhnya ada batas lapangan ilmu yang tidak mungkin, tidak boleh, dan tidak-tidak lainnya untuk dijadikan pembahasan ilmu.
Metafisika memberi bimbingan agar manusia jangan kecewa, justru dari sana manusia mendapatkan bimbingan dan pengarahan.
Bila kita mempelajari ontologi tetapi masih belum mendapatkan batas kejenuhan, atau batas akhir pemikiran, maka kita masih dalam ranah keilmuan.
Kalau masih dapat kita pikirkan, maka masih dapat dijangkau pikiran di sanalah ilmu berdiri menjadi dalil dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi mungkin saja kita tidak memperoleh apa-apa dari pengkajian ilmu pengetahuan, hanya kepuasan logika semantik saja, berlama-lama di laboratorium, berdebat di mimbar, sementara masyarakat sebagai sumber gejala berjalan sendiri seperti tak ada hubungan apa-apa.
Ilmuwan seperti ini perlu disadarkan, bahwa penerawangan keilmuan tersebut segeralah sadar, karena bila niat kita mendalami ilmu pengetahuan maka harus menjadikan diri kita menjadi ummat terbaik salah satu cirinya bermanfaat bagi orang lain.
Memang bermain logika tidak ada habis dan berhentinya, asyik sendiri, bertanya dan menjawab sendiri, lelah sendiri, akhirnya menyalahkan semua yang tidak sesuai dengan diri sendiri.
Kembalilah ke makna ilmu pengetahuan, diawali dari fenomena masyarakat, alam dan semesta, maka proses dengan kejujuran, dan kembalikan seefektif mungkin agar bernilai manfaat bagi kehidupan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Itulah ilmuan yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.