Cuci otak memunculkan rasa takut akan hilangnya kontrol diri, rasa takut akan dimanfaatkan dan didominasi oleh orang lain, dan rasa takut akan hilangnya identitas seseorang yang sebenarnya. (Taylor, 2004:211).
Pernahkah kita mendengar bahwa setelah mengikuti kegiatan training seseorang semakin baik, seperti dia yang paling suci menegakkan kebenaran, atau kita juga pernah mendengar bahwa setelah pulang training justru ada yang mengalami henk atau ada gangguan.
Ah…. sungguh pengalaman mengikuti training, seperti menjelajahi alam jiwa yang sulit diprediksi.Kami sendiri pernah mendengar langsung satu kisah, di mana sebuah training yang menggunakan sesi cuci otak atau pengosongan.
Kegiatan ini biasanya dilakukan di malam hari, mungkin suasana dijadikan lingkungan untuk mendukung proses pengosongan peserta training.
Setelah diskusi yang hampir tak berujung peserta disengaja untuk sampai pada satu kejenuhan berpikir, sehingga ia menyerah kepada instruktur yang mengendalikan permainan training. Dari sini dimulailah apa yang disebut cuci otak.
Rangkaian pemberian materi dengan komitmen melakukan, seakan tak ada ranah pertimbangan, maka semua nilai yang diberikan oleh instruktur adalah kebenaran. Tidak ada pilihan lain kecuali kepatuhan dan siap melakukan itulah yang dirasakan peserta.
Sungguh, cuci otak adalah satu metode yang pernah dilakukan oleh para ahli di korea, sampai-sampai tentara Amerika yang diterjunkan bukan membunuh tentara Korea tetapi justru sebaliknya.
Cuci otak yang dilakukan menjadikan tentara Amerika saat itu membunuh rekan-rekannya, dan menjadi pengawal setia tentara Korea.
Apa yang dicuci sesungguhnya adalah mental atau tingkat alam sadar seseorang, dimana pada titik tertentu seseorang dikendalikan oleh sesuatu yang baru.
Hal inilah yang kemudian membimbing dirinya untuk melakukan tanpa adanya pertimbangan pengalaman sebelumnya. Walaupun para psikolog sepakat tidak ada yang benar-benar kosong atau bersih dari memori pengalaman, namun pada kesadaran tertentu itulah yang digunakan untuk melanjutkan kesiapan mental berikutnya.
Cuci otak memang harus hati-hati, tidak semua instruktur dapat melakukannya, sesungguhnya dosen dan guru serta pelatih lainnya secara tak sadar selalu melakukannya di kelas atau di hadapan peserta didik.
Pada tingkat tertentu cuci otak adalah aliran dari Behaviorisme yang menyakini mental seseorang dapat dipengaruhi oleh lingkungan termasuk oleh perlakuan tertentu.
Jadi pemrograman otak peserta didik atau mahasiswa dalam kendali guru atau dosen di sana bila tidak hati-hati maka akibatnya akan menjadi lebih fatal.
Inilah yang menjadi fenomena di mana mahasiswa bisa liar, atau ikut dalam satu komunitas tanpa reserve, seperti menyerahkan dirinya pada pimpinan organisasi.
Identitas yang selama ini melekat apakah ia anak orang tuanya, sebagai mahasiswa, sebagai anggota masyarakat seakan telah diserahkan sepenuhnya kepada ideologi di mana ia yakini menjadi rumah barunya. Hemmm.
Sungguh ngeri sebenarnya cuci otak, tetapi paling tidak kita mengerti, dan sadar agar kita dapat mengendalikannya.
Pengendalian paling sederhana adalah selalu dekat dengan perlindungan Allah, berdoa sebelum bepergian, suci dalam kelanjutan air wudhu, serta jelas kemana arah yang akan dituju.
Selalulah berjemaah atau bersama dengan orang-orang baik, serta terjaga dengan kitab suci dan ketergantungan dengan rumah ibadah. Jalan ini nyata dan dapat dilakukan oleh siapa saja.
Mungkin ini yang disebut dengan cuci otak sendiri, mengendalikan diri sendiri, akhirnya dapat menemukan hakikat diri untuk mengabdi kepada sang pencipta yang lebih tinggi.
Tidak ada yang pulang dari training, tetapi ia akan terus mentraining dirinya agar lebih baik dari sebelumnya. Dan dilakukan terus menerus sampai mati. Semoga selamat.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.