This quantitative study aims to determine and describe social media literacy in adolescents in Langkat regency. The study sample consisted of 88 teenagers. Data collection techniques were collected using online questionnaires prepared using individual competence indicators such as media use, critical thinking, and communication. The results showed that there still needs to be more social media literacy in the essential aspect of thought, namely repeated examination of information circulating on social media by adolescents. The recommendation of the results of this study is the importance of providing education by related parties such as the school environment and families so that it can help adolescent social media literacy. (Parinduri, 2023).
Dengan membaca kita tahu isi dunia dengan menulis dunia tahu siapa kita, itulah quotes yang sangat menginspirasi banyak orang, karena semua orang akan tersisir dari hal di atas.
Pertanyaan paling sederhana kita adalah, bagaimana agar semua orang mampu membaca, apa saja isi dunia yang dapat dibaca oleh semua orang, kemudian naik ke tingkat lebih tinggi lagi, bagaimana agar semua orang mampu menulis, dan tulisan yang bagaimana agar semua manusia di dunia dapat mengetahui?
Empat pertanyaan ini memang sederhana, bertingkat, dan sekaligus menjadi strata manusia berdasarkan literasi.
Pertama; kemampuan membaca adalah hal paling dasar dalam pendidikan, pelajaran membaca selalu diiringi dengan menulis, juga berhitung dan kemudian mendengar sampai memahami makna. Mata pelajaran membaca selalu dikonotasikan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, padahal sesungguhnya bukan demikian, walaupun dasar-dasar membaca adalah kompetensi seseorang lulus mata pelajaran tersebut. Tetapi kemampuan membaca terus dilakukan, buktinya mata pelajaran Bahasa dari Taman -Kanak-Kanak, Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi mengiringi keilmuan yang diberikan. Bahkan untuk menulis disertasi seorang calon doktor masih membutuhkan ahli bahasa dalam menyusun, merangkai sampai menyampaikan narasi setiap rekomendasi yang akan ditulisnya.
Kedua, isi dunia ini dapat diketahui dengan membaca, lantas bagaimana caranya, maka dunia “diverbalkan” dituliskan dinarasikan, apakah sesuatu yang statis atau progresif. Statis artinya dunia apa adanya dimana dulu, hari ini dan akan datang isi dunia itu sama di sana ada manusia, tumbuhan hewan, gunung, lembah, desa dan kota dan lain sebagainya. Progresif artinya jumlah manusia yang terus bertambah dan berubah, guru yang dulu adalah tempat “angker” kini justru menjadi tempat berwisata, lembah yang dulu adalah penuh dengan rawa dan buaya, kini menjadi lintasan jalan tol, bahkan desa bukan diceritakan karena kesederhanaannya, tetapi banyak berita tentang bantuan satu miliar rupiah, sampai kota dengan klasifikasi; Kota kecil, memiliki jumlah penduduk 20.000 hingga 50.000 jiwa. Kota sedang, memiliki jumlah penduduk 50.000 sampai 100.000 jiwa. Kota besar, memiliki jumlah penduduk 100.000 sampai 1 juta jiwa. Kota metropolitan, memiliki jumlah penduduk 1-5 juta jiwa. Kota megapolitan, memiliki jumlah penduduk lebih dari 5 juta jiwa (https://www.kompas.com).
Ketiga, bagaimana agar semua orang mampu menulis. Menulis adalah ilmu sekaligus seni, sebagai semua ilmu menulis dapat dipelajari secara akademik, bagaimana seorang anak TK mulai menuliskan huruf, dirangkai menjadi kata, dan akhirnya sebuah kalimah yang tersusun menjadi paragraf. Skripsi, tesis sampai disertasi sesungguhnya sama-sama ditulis karena menjadi prasyarat sebuah kompetensi jenjang pendidikan. Namun menulis juga sebuah seni, dengan tulisan seseorang dapat menyampaikan ide, gagasan, kritik sampai menimbulkan polemik. Wartawan yang memiliki profesi sebagai penulis atau menuliskan kejadian cukup dengan 5W1H ia dapat memberikan segudang informasi tentang isi dunia baik itu data statis, maupun problema masyarakat yang progresif.
Keempat, tulisan yang dapat dibaca oleh semua orang di dunia ini tentu tulisan yang menceritakan tentang isi dunia. Dunia orang tua, maka tulislah tentang dunia mereka, tentang masa lalu, apalagi tips bagaimana sehat sampai tua pasti mereka senang membacanya. Dunia remaja, maka tulislah tentang dunia mereka siapa idola mereka, bagaimana mereka dapat tampil didepan publik, ajak mereka dengan tulisan sesuai dengan psikologi remaja. Dunia ibu-ibu akan lebih menarik bila disampaikan tentang tas harga 1 milyar sampai 100.000 dapat tiga buah, mereka tetap senang membacanya.
Jadi jelaslah bahwa dengan membaca kita tahu isi dunai, bila kita mampu menulis yang membuat orang membacanya dengan senang hati, maka itu bagian dari edukasi, tetapi bila tulisan kita membuat orang meneteskan air mata cenderung menjadi sajak atau puisi.
Bila Dr Muhammad Abrar Parinduri MA telah melakukan penelitian terhadap remaja, itu berarti ada kepedulian terhadap membaca bagi generasi muda.
Program literasi yang dikembangkan pemerintah sesungguhnya adalah untuk menggugah bahwa membaca masih diperlukan, dipentingkan bahkan diyakinkan menjadi senjata strategis membangun generasi emas tahun 2045.
Kini tinggal kita bagaimana memberi bacaan kepada mereka yang dapat mengedukasi, menginspirasi, bahkan mengapresiasi siapa pun yang berkontribusi terhadap membaca dalam arti sesungguhnya.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.