This study examines the recurring conflicts in the financial management of higher education in Indonesia, characterized by disparities in budget allocation needs and interests, unjust and misdirected budget distribution, and misappropriation of funds. It aims to investigate leadership strategies for resolving these conflicts to ensure precise and efficient financial management. Employing a qualitative-phenomenological approach through case studies, this research centers on financing issues at state Islamic universities with BLU status. Data were collected via interviews, observations, and documentary analysis, employing Miles and Huberman's methodology of data reduction, display, and conclusion drawing. Findings indicate the necessity of strategic conflict resolution to mitigate adverse impacts on higher education development. Effective conflict management, as shown, involves a leader's ability to maintain a constructive outlook, recognize the potential benefits of conflicts, and adopt a decisive approach. By refining goals, enhancing communication, and improving procedures, conflicts can be transformed into productive elements of organizational dynamics. (Nurika, 2024).
Penelitian ini mengkaji konflik berulang dalam pengelolaan keuangan perguruan tinggi di Indonesia yang ditandai dengan disparitas kebutuhan dan kepentingan alokasi anggaran, distribusi anggaran yang tidak adil dan salah arah, serta penyelewengan dana.
Hal ini bertujuan untuk menyelidiki strategi kepemimpinan dalam menyelesaikan konflik-konflik ini guna memastikan pengelolaan keuangan yang tepat dan efisien.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif-fenomenologis melalui studi kasus, penelitian ini berpusat pada permasalahan pembiayaan pada perguruan tinggi Islam negeri berstatus BLU.
Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan analisis dokumenter, menggunakan metodologi reduksi data, display, dan penarikan kesimpulan Miles dan Huberman.
Temuan menunjukkan perlunya penyelesaian konflik strategis untuk mengurangi dampak buruk terhadap pengembangan pendidikan tinggi.
Manajemen konflik yang efektif, seperti yang ditunjukkan, melibatkan kemampuan seorang pemimpin untuk mempertahankan pandangan yang konstruktif, mengenali potensi manfaat konflik, dan mengadopsi pendekatan yang tegas.
Dengan menyempurnakan tujuan, meningkatkan komunikasi, dan memperbaiki prosedur, konflik dapat diubah menjadi elemen produktif dalam dinamika organisasi.
Sumber daya itu penting, baik itu sumber daya manusia, sumber daya alam, terlebih sumber daya sistem. Bagaimana kita mengelola ketiga sumber daya tadi secara tepat, maka akan menghasilkan pencapaian tujuan secara maksimal. Tujuan dimaksud adalah kebahagiaan manusia di alam semesta.
Sumber daya manusia apapun potensi yang ada, dan dimiliki merupakan hal penting, tidak harus diawali dari kualitas, bahwa kuantitas pun menjadi sumber daya bila kita mampu mengelolanya.
Begitu juga dengan sumber daya alam, keadaan tanah yang subur itu adalah anugerah, tetapi tanah yang gersang justru menjadi tantangan dan mungkin dapat dimanfaatkan dengan cara yang berbeda.
Jadi sumber daya sistem baik itu sistem alam yang dipahami manusia maupun sistem yang sengaja dibentuk untuk mengelola manusia dan alam bila diawal dari adanya analisis kebutuhan maka akan bernilai guna.
Sebagian orang yang menjadikan sumber daya manusia adalah segala-galanya, maka pendidikan adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas sumber daya. Pendidikan, pelatihan maupun pemberdayaan merupakan langkah penting investasi bagaimana sumber daya manusia dapat berjalan dengan baik.
Tidak jarang institusi menganggarkan pembiayaan berlebihan untuk pendidikan dan pelatihan begitu besar dengan harapan akan terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang.
Sebagian ahli justru apa yang kita prioritaskan harus mendapatkan sumber daya alam, seperti hutan, sawah atau institusi yang mapan bila kita ingin mengembangkan peningkatan kualitas hidup. Banyak orang memperebutkan lahan, sama halnya dengan menguasai jabatan agar ia dapat menghalalkan segala cara karena tujuannya untuk mendapatkan sumber daya.
Pendapat ini didukung oleh sejarah perjuangan bagaimana satu kaum menguasai kaum yang lain, kaum borjuis pemilik modal menguasai kaum buruh dan lain sebagainya.
Hal ini harus diingatkan bahwa bagaimana seseorang mendapatkan kesempatan, maka jabatan penguasaan harus diiringi dengan tiga hal yakni memperebutkan jabatan, ia juga mampu membagi jabatan dan yang utama mempertanggungjawabkan jabatan.
Dan ahli yang lain lagi adalah menjadikan sistem adalah hal penting. bila hukum, sistem serta aturan telah ditetapkan, siapapun yang akan mengelola hasilnya akan dapat diprediksi. Membangun sistem sama halnya dengan merencanakan, mengelola, mengevaluasi dan mengembangkan.
Jadi bila sistem telah terbangun, itu berarti kita dapat merencanakan sesuatu dengan baik, mengelola dengan profesional, dan mengevaluasi secara terukur dan mengembangkan hal yang lebih perspektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurika memang sangat menarik, di mana fenomena institusi sebagai sumber daya, menunjukkan perlunya penyelesaian konflik strategis untuk mengurangi dampak buruk terhadap pengembangan pendidikan tinggi.
Manajemen konflik yang efektif, seperti yang ditunjukkan, melibatkan kemampuan seorang pemimpin untuk mempertahankan pandangan yang konstruktif, mengenali potensi manfaat konflik, dan mengadopsi pendekatan yang tegas.
Mengapa terjadi konflik, mungkin saja karena sama-sama ingin menempatkan sumber daya manusia sebagai prioritas. Padahal ada sumber daya lain masih banyak dan juga penting, tinggal bagaimana mengelolanya, bukankah pendidikan tinggi adalah institusi di mana sumber daya manusia itu sangat berkualitas, sedikit aneh bila justru di sana terdapat konflik.
Sebagian orang menyadari bahwa konflik itu akan mengakibatkan hal buruk, tetapi pembuktian lain menunjukkan konflik yang disadari dan dikelola dengan baik, justru menjadi sumber daya tersendiri.
Kita boleh saja menuliskan satu hukum dalam manajemen, tidak ada pengelolaan yang tidak menghadapi konflik, bila satu organisasi dikelola tidak ada konflik sama sekali, maka organisasi itu justru butuh pengelolaan yang lebih baik lagi.
Artinya konflik itu pasti ada dan terjadi, tinggal bagaimana kita mempersepsikan, dan mengelolanya menjadi satu energi positif sebagai sebuah dinamika yang mengarusutamakan pencapaian visi, misi organisasi khususnya perguruan tinggi yang lebih baik di masa depan.
Satu lagi tidak ada yang berhenti dan nyaman dalam dunia akademisi di perguruan tinggi, yang ada adalah ketika kita mendapatkan kebaikan dari dinamikanya sebuah pengelolaan yang penuh risiko dalam sebuah jabatan. Termasuk perguruan tinggi di negeri ini, atau di kampus di mana kita bekerja.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.