Agama bukan saja merupakan sistem keyakinan dan praktik, tetapi juga merupakan faktor formatif identifikasi personal yang diakui masyarakat. Status seorang individu akan dilihat dari ikatannya dengan kelompok agama. Apabila suatu kelompok keagamaan berada dalam posisi terhina atau teraniaya, maka individunya secara personal juga akan ikut terhina. Demikian pula halnya, apabila kelompok itu berada dalam posisi terhormat dan dihargai, maka otomatis status individunya pun akan dihormati dan dihargai. (Nasution, 2016:19).
Hidup sendiri akan merdeka dan memiliki independensi yang sangat tinggi, hidup bersama, maka akan tunduk dan patuh pada aturan yang disepakati. Apakah individu ingin merdeka dalam kehidupan bersama, atau kebersamaan dapat menghargai kemerdekaan individu?
Semua sangat tergantung pada niat dan tujuan dari arti hidup bagi seseorang. Seseorang yang ingin hidup bahagia dunia dan akhirat, maka ia harus mencari jalan menempuhnya, apakah harus sendiri, bersama atau saling berbagi diantara keduanya.
Apakah seseorang ingin hidup seribu tahun lamanya, ia hanya kenal dunia, dengan mengumpulkan pengetahuan ia kuasai sebagian lingkungannya, maka harta dan kekayaan dianggap menjadi jalan untuk mencapai niatnya.
Ada pula sebagian orang menjadikan hidup bersama adalah salah satu jalan (mungkin saja satu-satunya) jalan untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Maka ia membangun kebersamaan bahkan kadang kala mengorbankan individunya untuk mencapai kebersamaan agar mencapai tujuan hidup bahagia.
Pada manusia kelompok pertama di atas, adalah mereka yang terus menempuh pendidikan, mengasah pergaulan mencari posisi, bahwa identitas diri harus dikembangkan lewat berbagai jalan.
Pendidikan adalah salah satu jalan agar seorang dapat tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan, dan akhirnya ia memiliki identitas, apakah menjadi sekedar bagian dari kelompok, atau komunitas, atau organisasi.
Sekolah yang tinggi, kemudian masuk organisasi, atau masuk partai politik adalah bagian dari jalan di mana individu menempa diri agar eksis sebagai jalan agar ia memiliki makna untuk dirinya dan untuk jamaahnya.
Pada manusia kelompok kedua di atas, dunia adalah saat ini, di sini, dan harus diselesaikan sendiri. Saya atau orang lain, maka saya adalah memutuskan untuk kemerdekaan saya di mana kebahagiaan adalah milik saya dan tidak tergantung pada orang lain.
Menguasai orang lain, mengeksplorasi seluruh lingkungan baik alam maupun lainnya adalah jalan utama untuk mendapatkan kebahagiaan sebagai tujuan hidup.
Disengaja atau tidak hidup di hari tua ia senang dengan kesendirian, akhirnya ia menikmati hidup sendiri dan mati sendiri, bahkan tidak rela seluruh hasil jerih payahnya dinikmati orang lain walaupun ia telah mati.
Pada manusia kelompok ketiga hidup adalah anugerah, dengan sendiri berarti kita sadar ada orang lain, dan saling berbagi adalah keharusan mencapai tujuan. Bahagia itu bukan diukur dari kenikmatan sendiri, tetapi bersama orang lain bersama menuju satu tujuan yakni kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hidup yang berarti bagi orang lain, dan orang lain adalah lahan beramal, ketika mereka punya kelebihan bagaimana menjadi potensi untuk berbagi dalam kebersamaan, ketika orang lain memiliki kekurangan di sanalah kita hadir untuk memberi sesuatu agar dapat merasakan kebahagiaan.
Tulisan ini bukan bermaksud memosisikan Prof Hasyimsyah pada ketiga kelompok di atas, tetapi beliau mengingatkan kita bahwa bila seseorang secara sengaja menyatakan diri pada kelompok pertama, apapun niat dan tujuan individunya pasti ia terbawa oleh arus kelompok tersebut.
Bukan tidak banyak saudara kita secara sengaja atau tidak ikut dalam kelompok kedua, menggadaikan dunia untuk kepentingan individu, maka identitas dirinyapun tergerus oleh budaya tersebut.
Prof Hasyimsyah sekali lagi mengingatkan kelompok ketiga itu bukanlah komunitas yang menjajakan dengan murahan tentang arti sebuah organisasi, tetapi memberi jalan bagaimana individu dapat berbuat untuk orang lain, dan organisasi memberi ruang bagaimana kebermanfaatannya pada individu agar bahagia dunia dan akhirat.
Jadi jelas, apakah pilihan individu mau terhina atau terhormat, itu memang keputusan seseorang ketika berhadapan dengan kelompok di mana ia bergabung.
Tetapi komunitas atau kelompok yang memiliki arah tidak sesuai dengan kehendak individu, atau justru menyalahgunakan makna kebahagiaan, maka bukan saja terhina tetapi kehilangan kehormatan secara keseluruhan.
Sungguh pemikiran Prof Hasyimsyah bukan sekadar dalam tulisan, tetapi ia telah membuktikannya lewat dua periode kepemimpinan organisasi keagamaan (Muhammadiyah) di Sumatera Utara.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.