Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Kurikulum eksklusif harus direformasi untuk mewujudkan kurikulum inklusif yang terdiri dari enam komponen antara lain pengembangan berbagai perspektif sejarah, pengembangan kesadaran budaya, mengembangkan kompetensi antar budaya, memerangi rasisme, seksisme, dan segala bentuk prasangka dan diskriminasi, meningkatkan kesadaran akan keadaan planet ini dan dinamika global, serta membangun keterampilan aksi sosial untuk memandu reformasi.
Dari kurikulum eksklusif dan inklusif, salah satu jenis kepemimpinan sekolah yang menjanjikan adalah model ASPIRE (penilaian, sintesis, perencanaan, implementasi, tinjauan, dan evaluasi). Model ASPIRE memfasilitasi pimpinan sekolah untuk terlibat seluruh pelaku sekolah (staf sekolah, keluarga, masyarakat, wali, dan siswa) untuk mengembangkan kurikulum inklusif yang melayani berbagai tuntutan siswa latar belakang yang beragam sehingga mereka berhasil secara akademis dan sosial di dalam dan luar sekolah. (Amirul Mukminin, 2019).
Pendidikan adalah proses transformasi nilai budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya secara bertanggungjawab dilakukan secara sengaja dalam mempersiapkan masa depan anak yang lebih baik di masa depan.
Banyak perspektif yang harus diperhatikan dalam pendidikan, diantaranya adalah terdapat kegiatan antar generasi, ada tanggung jawab, serta persiapan tentang masa depan. Tiga hal di atas dapat dikembangkan lebih jauh menjadi model pendekatan terhadap pendidikan yang lebih baik, yakni perencanaan, pengelolaan dan pengembangan.
Prof Amirul mencoba memberikan perspektif terhadap pendidikan dari enam bidang yakni;
-perspektif sejarah, dalam hal ini sejarah bukanlah sekadar catatan peristiwa, tetapi nilai dan makna memberikan informasi dan sarat dengan berbagai keterkaitan antar peristiwa. Dari sinilah kita harus menelusuri untuk mencari makna yang lebih dalam, sejarah itu masa lalu tetapi ia akan hadir di masa depan bila kita yang melakukan rekayasa.
-pengembangan kesadaran budaya, ketika disadari bahwa budaya itu terbentuk dari adanya interaksi manusia, maka adalah sangat dinamis. Apa yang telah kita lakukan sebaiknya disadari itu adalah kesengajaan untuk menjadi bagian dari kehidupan, jadi mengapa mesti terlalu banyak “inovasi” bila yang sudah ada masih banyak yang belum digali sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
-mengembangkan kompetensi antar budaya, pada gilirannya komunitas antar individu menciptakan budaya inklusif, tetapi bukan untuk dinikmati sendiri. Kompetensi untuk kebaikan bukan sekadar menang dan mendapat penghargaan, lebih dari itu yang baik pada budaya orang lain, pelajari dan mungkin ada celah untuk dapat kita sisipkan pada budaya kita di sini.
-memerangi rasisme, seksisme, dan segala bentuk prasangka dan diskriminasi. Mengapa kita harus aktif dalam kegiatan budaya tadi, karena dengan ini kita memiliki kesadaran dan tanggung jawab, ada konsekuensi lain yang akan terjadi, kecintaan terhadap budaya yang berlebihan sampai pengorbanan terhadap keberhasilan akan mengakibatkan egosektoral.
Kontrol terhadap “keterlaluan” ini perlu ditumbuhsadarkan antarsesama, caranya dengan menjaga hubungan harmonis antar budaya lokal, budaya zaman, maka terciptalah keharmonisan. Serendah-rendahnya kesadaran ini adalah tidak mengganggu orang lain apalagi menghakimi kemampuannya, dengan dalih membatasi sepak terjang demi regulasi.
-meningkatkan kesadaran akan keadaan planet ini dan dinamika global. Pada gilirannya kesadaran adalah akhlak terhadap apa yang kita miliki, apa yang dapat kita lakukan dan apa yang mungkin kita perankan dalam kehidupan ini. Sadar bahwa kita adalah makhluk individu di tengah sosial, dan bergerak dinamis di tengah kehidupan global merupakan hal penting.
-Membangun keterampilan aksi sosial untuk memandu reformasi. Banyak yang menjadi alat ukur tentang apakah kita telah sampai pada titik keberhasilan atau belum. Kesadaran akan dilihat dari kenyataan akan apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari, aksi untuk diri sendiri, untuk orang lain, komunitas dan bahkan lintas profesi adalah perlu. Keterampilan aksi ini bila dimaknai lebih mendalam tiada lain adalah keikhlasan apa yang kita miliki sumbangkanlah untuk orang lain demi lintas generasi lebih baik di masa mendatang.
Seorang pemimpin pendidikan ketika memaknai nilai-nilai di atas, maka ia akan melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri, kemudian melakukan sintesis dari apa yang selama ini dilakukan dan mungkin untuk dikembangkan. Barulah ia melakukan perencanaan penuh perhitungan, kemudian berwujud pada pelaksanaan secara bertanggungjawab sesuai dengan waktu, biaya dan tenaga. Akhirnya pemimpin tidak akan pernah segan untuk meninjau ulang apa kelebihan kelemahan serta potensi yang harus diperbaiki, itulah inti dari evaluasi.
Menjalankan teori ASPIRE bukan mesti dengan gerakan yang luar biasa, tetapi kesadaran dimulai dari sendiri bahwa kita hidup untuk berbagi, bersama untuk berkarya demi generasi antar masa.
Pendidik inspiratif tidak pernah berhenti belajar untuk tujuan hidup sendiri, tetapi memberikan kepada orang lain itu hal yang utama. Ketika pengalaman kita mendapatkan sesuatu yang tidak menguntungkan, maka bukan untuk dibalas dengan lain kesempatan, tetapi maknailah hidup bukan selamanya persoalan untung atau tidak untung, atau membandingkan untung atau untung yang lebih besar.
Pendidik inspiratif memberi penjelasan bahwa setiap apa yang kita miliki adalah prestasi dan keberhasilan, dan akan berkah ketika kita berikan/ parentalkan pada orang lain. Ini mungkin salah satu makna ‘amīrul mu'minīn) adalah sebuah gelar dalam tradisi awal Islam yang berarti “Pemimpin Orang-orang Beriman”.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.