Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Apakah doktrin harus diubah sesuai dengan perkembangan dan dinamika dunia atau sebaliknya? Membiarkan dunia mempengaruhi penampilan agama, bukan saja bertentangan dengan logika yang telah dibangun ratusan tahun yang lalu; akan tetapi juga, dan yang terpenting, dianggap menghilangkan sifat sakral (suci) doktrin agama tersebut. Sementara hilangnya sifat sakral, hampir berarti menghilangkan substansi agama itu sendiri. (Ali dan Effendy,1986:11).
Kakek kita dulu shalat lima waktu, seperti orang tua kita dan guru-guru kita mengajarkan shalat lima waktu sampai sekarang, dan itu yang akan kita ajarkan kepada anak cucu kita sampai akhir hayat.
Lantas apa yang berbeda? Dari syarat, rukun, niat, bacaan, gerakan semua sama, dasar dan tujuannya pun sama. Di saat yang sama hari ini ketika kita shalat bila dilihat dalam satu jemaah ada yang sama dalam satu masjid ada yang sama dalam satu mazhab, ada yang sama dalam satu komunitas dan seterusnya, semuanya sama. Lantas apa yang berbeda?
Pada cerita pertama apakah memang sama yang dirasakan oleh kakek dan kita ketika shalat atau setelah melaksanakan shalat ?
Jawabannya belum tentu sama, lantas pada cerita kedua, ketika sama berangkat ke masjid apakah sama tujuan dan yang diniatkan dan dirasakan antara tetangga dengan kita? Jawabannya belum tentu sama.
Itu yang tidak tampak, yang tampak sudah jelas berbeda, orang zaman dulu mungkin shalat karena mendengar sayup-sayup suara azan, sementara hari ini kita telah dibangunkan oleh teknologi smartpone lewat sebuah aplikasi.
Benar saja ada tetangga yang shalat mengenakan sarung cap mangga, berbeda dengan kita yang kebetulan mengenakan celana panjang dengan setelan koko atau kemeja sanghai. Sama-sama ketika di shaf masjid, tergantung niat.
Doktrin adalah sesuatu ajaran yang tidak akan berubah yakni perintah, larangan serta petunjuk dan imbalan bersumber dari kitab suci. Bila pemaknaan dari kitab suci itu dijadikan doktrin maka tidak akan berubah, dari kakek, sampai cucu kita, dari tetangga sampai jamaah di luar sana semuanya bersumber dari yang sama, maka tujuannya sama.
Sakral, setelah pemaknaan kitab didoktrinkan, maka sikap kita terus menjadikan kitab itu sakral atau suci, atau tidak sembarangan untuk melakukannya.
Menyepakati hanya manusia tertentu yang dapat mendekati, memaknai, menafsirkan dan menjaga maka itu sudah bagian dari sakral. Mensucikan sesuatu baik yang tampak maupun tidak adalah upaya mensyakralkan untuk menjaga bukan sekedar melestarikan, tetapi untuk kepastian dalam keberlanjutan.
Logika, benar saja kakek yang hidup di zaman dahulu, kita yang hidup disaat ini, dan cucu kita diera masa depan pasti berbeda. Boleh saja berbeda dalam hal penampilan, atau kemasan, tetapi hakikat, doktrin dan sakralnya sebuah nilai tidaklah berubah.
Sungguh na`if bila semua harus sama dalam beribadah, tetapi menyadari ada ranah yang berbeda, ada pula yang sama disitulah logika kita sebagai insan.
Apakah pendidikan harus diubah sesuai dengan perkembangan dan dinamika dunia atau sebaliknya? Membiarkan pendidikan mempengaruhi penampilan manusia, hal ini bukan bertentangan tetapi memang tujuan dari logika kehidupan manusia.
Kita setuju dengan pendidikan akan mengenal dan menjaga mana doktrin agama, mana yang harus dipelihara kesakralan nilai suci agama, dan mana pula yang harus dikemas untuk menyesuaikan dengan zaman dan perubahan.
Pendidikan bukan berupaya menghilangkan substansi agama, tetapi membuat kemasan agar manusia sesuai dengan zamannya semakin mudah memahami dasar, proses serta tujuan hidup beragama.
Apakah pendidik inspiratif dapat melakukan hal di atas, tentu memulainya dengan kemampuan memilah, mana logika, mana doktrin, mana budaya, yang penting hati-hati ia harus tahu mana politik.
Pendidik inspiratif tidak pernah berubah pada bagian nurani, karena ia tetap memberi kebaikan pada semua orang.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.