Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Religiusitas telah dikaitkan dengan kebahagiaan, namun jalur pasti yang menguraikan hubungan tersebut masih belum jelas. Salah satu mekanisme yang mungkin menjelaskan hubungan antara religiusitas dan kebahagiaan adalah peran religiusitas dalam meningkatkan pengendalian diri dan pengaturan diri. Pengendalian diri dan pengaturan diri selanjutnya mempengaruhi kepuasan hidup dan akibatnya kebahagiaan. Ditemukan bahwa pentingnya peran pengendalian diri dan pengaturan diri dalam menjelaskan hubungan antara religiusitas dan kebahagiaan serta berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme yang menguraikan hubungan antara keduanya. (Rusman, 2019:1)
Bahagia adalah suasana hati yang tercipta bukan karena rekayasa, atau penuh dengan rencana, apalagi dapat diperhitungkan oleh siapa saja. Bahwa sangat subyektif, bisa muncul tiba-tiba, namun hilangnya justru lebih mengejutkan. Terdapat empat kata penting dari hasil penelitian bung Azis yakni; kebahagiaan, pengendalian diri, pengaturan diri, dan religiusitas.
Karena ini gejala dalam diri seseorang, maka keempatnya tidak ordonansi, tetapi lebih kepada secuensial atau keterurutan, lagi-lagi tergantung pada pengalaman kita masing-masing.
Kebahagiaan adalah suasana hati, di mana saat tertentu, dengan moment tertentu seseorang merasakan apa yang ia inginkan tercapai. Apakah kita bisa merencanakan di mana kita harus pergi, bisa saja tempat yang enak, nyaman sedap dipandang mata seperti tempat wisata barangkali, atau justru di rumah ibadah mungkin, tetapi sebagian saudara kita justru bahagia karena di rumah bahkan di tempat tidur. Jelas beda orang maka pilihannya pun berbeda.
Apakah kita bisa merencanakan momen atau suasana, mungkin saja ke rumah makan untuk santap bersama, ke majelis zikir untuk mencari ketenangan, atau kumpul dengan keluarga mendapatkan kebersamaan. Sekali lagi berbeda orang maka berbeda cara mendapatkan momen kebahagiaan. Jadi bahagia salah satu indikatornya adalah terbebasnya seseorang untuk memilih apa yang harus dilakukan asalkan ia bahagia.
Pengendalian diri dalam hal ini tentu masing-masing usia berbeda pula cara melakukannya, bahkan definisi pengendalian diri pun tergerus oleh sekat penggolongan psikologis. Anak anak belum mengenal apa itu pengendalian diri, remaja pada umumnya belum mampu mengendalikan diri dan orang dewasa adalah kelompok yang mampu mengendalikan diri.
Kebebasan memilih apa itu bahagia adalah prerogatif individu, tetapi pengendalian diri karena alasan lingkungan, norma agama dan hukum negara adalah penting. Karena bila individu dapat berinteraksi diiringi pengendalian diri itulah kunci dari adanya keharmonisan atau pengendalian diri untuk kebahagiaan.
Pengaturan diri di mana bagian ini menjadi penting, karena semua yang ada baik di luar terlebih dalam diri seseorang adalah apakah ia independen terhadap pengaturan dirinya. Bila ia terjebak dengan segala peraturan yang ada di sekelilingnya maka pengaturan dirinya adalah sebuah keterpaksaaan. Dan di sini tidak ada ruang yang disebut bahagia. Keikhlasan dalam berbuat, berinteraksi dalam kehidupan baik untuk diri sendiri, keluarga dan lingkungan ternyata bagian penting melatih untuk pengaturan diri.
Religiusitas menjadi kata akhir dari jalan menuju kebahagiaan. Sebenarnya mengenal diri, mengenal orang lain, mengenal konteks sosial dan menerima serta menjadikan itu adalah bagian dari kesenangan hidup, maka bahagia akan lahir, tanpa beban dan mungkin ini tujuan semua manusia. Karena tidak ada benturan antara individu, umat dan alam.
Pendidik inspiratif selalu memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mengeksplorasi potensi yang dimiliki, lahirnya inisiasi, kreasi serta improvisasi merupakan penyataan seorang peserta didik ingin mandiri dalam menemukan hakikat keberhasilan, di balik itu ia akan menemukan kebahagiaan. Pendidik tidak mesti memberi definisi apa itu bahagia, namun bersama merasakan dengan seluruh warga sekolah itu adalah hal penting.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.