Untuk melanjutkan kehidupan warisan kebudayaan Islam, harus dapat dicapai dengan dua jalan: pertama: mahasiswa Islam harus bangkit untuk melaksanakannya. Kedua: Pemerintah harus membuat undang-undang pendidikan dan pengajaran, untuk mendorong terlaksananya ajaran Islam. (Maududi,1981:7).
Kebudayaan Islam sebagai warisan terbentang dari zaman Rasul Muhammad SAW sampai hari ini, apakah dalam bentuk materi atau immateri.
Kebudayaan materi seperti bangunan fisik, taman, kota, bahkan buku atau juga tempat seperti makam, masjid dan lain sebagainya. Berbeda dengan
kebudayaan immateri tidak tampak tetapi dapat dirasakan yakni ajaran, nilai serta ilmu pengetahuan, seni dan lain sebagainya.
Ketika kedua jenis kebudayaan tadi berjalan seiring, maka lahirlah apa yang disebut dengan peradaban, dari sini kita akan mengerti mana yang lebih bertahan antara kebudayaan materi atau immateri.
Para ahli sejarah lebih setuju bahwa peradaban itu adalah puncak dari kemajuan kebudayaan immateri lebih dominan dibanding materi.
Banyak hasil kebudayaan materi telah hancur ditelan masa, apakah itu karena ulah manusia atau memang waktu yang memberi batasan terhadap usianya.
Walaupun ada sebagian masih berdiri kokoh seperti Ka`bah, Tajmahal, dan lainnya, namun lebih banyak yang telah musnah bahkan catatannya pun hilang. Yang perlu dipelajari adalah memang kita bukan diajarkan untuk mengultuskan materi tersebut.
Lebih banyak lagi hasil kebudayaan immateri yang musnah, namun yang diwariskan justru itu yang paling monumental. Ajaran agama bukan mushaf Al Qur`an sebagai warisan, tetapi ajaran dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah makna dari simbol peradaban.
Tampak dari lahirnya para mufassirin dan ahli agama lainnya merupakan bukti bahwa peradaban Islam telah berjalan dan terus menghantarkan sejarah meninggikan tonggak-tonggak peradaban.
Atas alasan tertentu, apakah karena politik, teknologi atau paradigma keilmuan lainnya, maka banyak kalangan khawatir bila generasi saat ini akan menjauh dari sejarah kebudayaan Islam ini.
Tentu mereka memiliki bukti di mana dominasi politik dan pendidikan memberi orientasi menyesatkan baik disadari atau tidak pada generasi khususnya generasi Z.
Maududi menyadari hal di atas, bahwa bila kita ingin melanjutkan untuk menghidupkan kebudayaan Islam perlu dilakukan dua hal utama yakni;
Pertama, mahasiswa bangkit melaksanakan ajaran Islam. Bangkit dari tidur, bangkit dari berbaring bangkit dari duduk, atau bangkit dari kekeliruan yang selama ini telah melanda pikiran generasi muda kita. Berbagai program studi tidak sekompleks paradigma keilmuan di perguruan tinggi dalam mengembangkan ilmuan atau profesi. Kita harus menyadarkan mahasiswa bahwa mereka bukan sekedar belajar untuk mendapatkan gelar sarjana, tetapi lebih dari itu menjadi agen perubahan di tengah-tengah masyarakat. Kepedulian bukan hanya sekedar di atas kertas, tetapi bersama ummat memberikan pemberdayaan, sehingga mahasiswa menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.
Kedua, pemerintah membuat undang-undang pendidikan dan pengajaran. Menurut Maududi, regulasi yang dibuat oleh pemerintah bukan sekadar menyusun kurikulum menatap masa depan dengan mempersiapkan generasi muda. Tetapi memberikan arah dengan memberikan spirit sejarah yakni warisan dari kebudayaan immateri adalah penting. Bayangkan kurikulum perguruan tinggi hari ini yang lebih mengutamakan materialisme, bahkan hedonisme untuk kepentingan sesaat harus segera diluruskan.
Dari kedua hal di atas, maka salah satu jawabannya adalah kita menunggu akademisi yang birokrat mampu menyatukan semangat tentang pewarisan sejarah Islam.
Sejarah itu tidak ada gunanya bila kita tergila-gila tentang masa depan. Dan masa depan itu ternyata tidak ada ketika sejarah dibiarkan berjalan sendiri membuat peradaban yang tak dikendalikan.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.

















