The personality of the Prophet Muhammad had been a major factor in teaching the Muslims, educated their manners, changed the mindset and their outlook, improved their behavior, and leaded them to build personality and Islamic societies. When stressed the importance of following the Prophet Muhammad by calling him as a good example, the holly Qur'an has taken a role model as a method of realizing its goals. Therefore, a teacher must be an example of how he teaches and students so he becomes a role model. Let there are not contradiction whatever between words and deeds, so that the students become the motion and their silence as a role model that they look up to, even more character and behavior. Otherwise, education will only turn into teaching and the same free speech that do not have a significant impact in students' life. Because the Prophet Muhammad is the role model in all aspects of life with different sides of grandeur. It must be everyone exampled himself is this great. (Junaidi Arsyad, 2017).
Sudah berabad lamanya kita mempercayai bahwa pendidikan utama adalah keluarga, kemudian pada dekade 1970-an kita disuguhi dengan berbagi peran pendidikan keluarga, masyarakat dan sekolah dengan istilah informal, non formal dan formal.
Tahun 1990-an taksonomi berubah menjadi pendidikan sekolah dan luar sekolah, tetapi intinya peran keluarga tetap ada didalamnya. Begitulah perubahan terus terjadi, tidak ada yang permanen, apalagi menyatakan dominasi atas peran lainnya.
Pada era 2000-an kita mengalami satu lompatan yang jauh dari yang dibayangkan sebelumnya, di mana pendidikan bukan lagi di keluarga, masyarakat dan sekolah, di sana adalah lingkungan lain, bahkan media yang sangat progresif mengambilalih.
Apa yang terjadi akhirnya murid kita pun mendapatkan suguhan pendidikan bukan hanya di keluarga, di masyarakat di sekolah tetapi juga di mana-mana yakni media.
Bila semua pihak berperan dengan tanggungjawab maka itulah yang kita harapkan, namun ketika peran tersebut tumpang tindih, bukan tidak mungkin terjadi pertentangan di antaranya, kekhawatiran pun terjadi.
Di satu sisi keluarga memberikan pendidikan nilai adab sopan santun, sementara di sekolah mendukung dengan berbagai teori, namun di media hal tersebut dibiarkan atau bahkan disuguhkan tontonan yang berlawanan.
Keadaan di atas terjadi pada sebuah keluarga, dan pada diri seorang guru di kelas, Dr Junaidi Arsyad melihat persoalan pendidikan memang benar-benar sedang bermasalah seperti di atas.
Untuk itu beliau mencatat bahwa; janganlah ada pertentangan apa pun antara perkataan dan perbuatannya, sehingga para murid menjadikan gerak dan diamnya sebagai panutan yang mereka teladani, terlebih lagi akhlaknya dan caranya.
Jika tidak, pendidikan hanya akan berubah menjadi pengajaran, dan ceramah bebas yang sama sekali tidak memiliki pengaruh nyata dalam kehidupan peserta didik.
Pertentangan dalam pendidikan memang bukan sebatas pada media atau pihak yang berperan, tetapi sejak ontologi kadang ada yang berpikiran sungsang. Jawaban dan jalan keluar sesungguhnya mutlak tidak ada yang perlu disangsikan yakni pendidikan Islam melalui suri tauladan.
Dalam hal inilah kita menjadikan pentingnya mengikuti Rasulullah SAW. Dengan menyebutnya sebagai teladan yang baik, al-Quran telah mengambil panutan sebagai metode mewujudkan sasaran-sasarannya. Karena itu, seorang guru harus mencontohkan cara yang ia ajarkan dan didik agar ia menjadi panutan.
Tidak ada media pembelajaran yang paling ampuh dan sempurna kecuali sosok seorang pendidik yang ada dihadapan peserta didik, maka dilengkapi dengan metode paling jitu dan efektif adalah suri tauladan.
Oleh Dr Junaidi Arsyad sekali lagi memberikan penegasan bahwa; kepribadian Nabi SAW telah menjadi faktor utama dalam mengajar umat Islam. Mendidik adab mereka, mengubah pola pikir dan cara pandang mereka, memperbaiki perilaku mereka, dan menuntun mereka membangun kepribadian dan masyarakat yang Islami.
Bila benar keluarga adalah tempat menanamkan budi pekerti dengan pendidikan adab, kemudian sekolah memberikan pengajaran agar pola pikir menjadi cerdas, sekaligus bagaimana perilaku terbentuk dengan baik di tengah-tengah masyarakat, maka kita perlu konsep pendidikan yang utuh.
Keutuhan tersebut sekali lagi diharapkan menjadi pondasi bagi ontologi, epistimologi pendidikan Islam, karena itulah kita bisa berharap aksiologinya adalah masyarakat yang Islami.
Totalitas pendidikan Islam sekali lagi dikembalikan kepada fungsi keluarga, masyarakat dan sekolah, di mana kesemuanya dapat dimulai dari keteladanan. Maka karena Nabi Muhammad SAW adalah seorang teladan dalam segala aspek kehidupan dengan berbagai sisi keagungan.
Setiap orang yang sadar tentu menemukan sisi agung pada diri Rasulullah SAW. Dan akhirnya pendidikan akan menjadi jawaban bukan untuk satu dekade, puluhan tahun, atau generasi tertentu, akan tetapi penyempurna teori antar zaman.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.