Ilmu tauhid tidak ada artinya apabila tidak dilanjutkan dengan iman. Iman juga tidak benar apabila tidak didasari oleh ilmu yang benar tentang ke-Esaan Allah apalagi tidak diwujudkan dengan amali. Demikian juga dengan amal ibadah akan menjadi benar dan kokoh manakala didasari oleh ilmu yang benar dan syahadah yang kokoh. Orang yang memiliki ilmu (mengetahui), tetapi tidak mengakui dalam hati dan tidak pula mengamalkannya, disebut kufur. Sedangkan, mengakui dan mengamalkan tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan disebut taklid. (Hadis Purba, 2016).
Tidak ada fenomena tunggal di alam semesta, bahkan kelahiran seekor semut ada hubungannya dengan gempa bumi bila dijadikan alasan untuk sebuah saling ketergantungan.
Apakah hubungan fenomena tersebut sederhana atau kompleks, hubungan pendek atau panjang, hubungan langsung atau tidak langsung sangat beragam.
Di sinilah kita dapat memahami bahwa fenomena adalah hukum interdepedensi yang secara alami terjadi di sekeliling kita, dan itu ada setiap saat sampai kita mati.
Mempelajari sesuatu, apakah itu obyek, gejala atau bahkan kemungkinan (rekayasa), harus dimulai dari mana kita akan pelajari, kemudian kita batasi, dan akhirnya untuk apa hal itu dilakukan.
Dari mana kita akan mempelajari sesuatu maksudnya menyadarkan kepada diri manusia, bahwa ia adalah manusia yang pasti memiliki awal dan memiliki akhir, apapun proses di tengah-tengahnya.
Bila ditelusuri lebih jauh, maka ini akan mengharuskan kepada kita hidup ini pasti ada yang mengawali, dan ada yang menjadi penyebab utama, atau disebut dengan prima causal.
Para ahli agama membahas keyakinan manusia sampai pada satu kepercayaan yang disebut dengan tauhid, ada campur tangan yang lebih dari manusia sehingga manusia itu ada.
Membatasi pembahasan untuk sebuah studi itu penting, bukan karena keterbatasan waktu, biaya dan tenaga, seperti formalnya sebuah penelitian, tetapi kita saat ini sedang berdiri di mana.
Dengan meletakkan ketetapan bahwa bidang kajian menjadi kerangka berpikir, maka orang lain yang akan diajak bicara dapat masuk dalam ruang batasan kita.
Tidak ada alat yang dapat mendeteksi untuk segala obyek, gejala dan rekayasa, bahkan sebaliknya tidak ada satu obyek pun yang sempurna dapat diketahui oleh seluruh alat yang ada di muka bumi.Unik memang, tetapi itulah obyek ketika dia menjadi gejala, dan akhirnya rekayasa.
Dari sinilah lahir apa yang disebut dengan disiplin ilmu, karena memang ilmu itu adalah membatasi obyek, menetapkan metodologi dan akhirnya memanfaatkan sistematika.
Mengapa kita mesti menjadikan disiplin ilmu sebagai satu cara untuk mengetahui obyek, gejala dan rekayasa, karena kita hidup di lingkungan seluruh obyek yang ada, mana obyek yang bermanfaat mana yang tidak, mana gejala yang mendukung tujuan hidup kita mana yang tidak, dan mana rekayasa bermanfaat mana tidak sangat penting bagi kita.
Ilmu pengetahuan mencoba memberikan jalan cara mengenal, mengelola dan mengendalikan, dan akhirnya dimanfaatkan untuk keselamatan dirinya, dan kemaslahatan orang lain.
Dari tiga hal di atas, antara obyek, gejala dan rekayasa, semua dapat kita kenali, kita batasi dan kita manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari.Jadi semuanya saling terkait dari sejak kita mulai, kita pelajari sampai kita manfaatkan tidak ada yang terpisah satu dengan lainnya.
Itulah kehidupan, tidak ada ilmu yang tidak bermanfaat, bila itu tidak bermanfaat maka bukan ilmu namanya. Tidak ada obyek di dunia ini yang tidak saling berhubungan, bila tidak berhubungan maka itu bukan obyek yang dapat dipelajari, apalagi dijadikan nilai guna bagi kehidupan ini.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.