Pembelajaran efektif dapat berlangsung dengan berbagai faktor pembentuknya. Berbagai faktor pembentuk pembelajaran efektif itu, pada umumnya berasal dari guru, misalnya faktor kemampuan dan keterampilan mengajar, pembinaan dan perasaan (cinta dan kasih sayang), dan penguasaan materi. (Haidir, 2021:60).
Guru yang berdiri di depan kelas cukup dengan lirikan matanya maka murid-muridnya diam, patuh dan mengikuti seluruh titah, dia belum bicara, apalagi menggoyang-goyangkan sebilah rotan.
Itulah gambaran guru pada tahun 1970-an, cukup berwibawa, semua murid telah masuk ke kelas, sebelum gurunya datang, kelas telah dibersihkan oleh murid sesuai dengan jadwal piket kebersihan.
Di akhir kegiatan pembelajaran gurunya mendo`akan agar muridnya mendapat ilmu pengetahuan tambah keberkahan.
Guru kini berdiri di depan pintu gerbang baris menyalami siswa yang masuk, selamat datang, kadang sambil ngobrol dengan guru lain, atau sambil memegang telepon seluler tetapi tangan tetap menyalami seluruh murid yang masuk.
Karena jadwal guru bergantian, setor muka atau karena memang itu bagian dari e-kinerja yang harus difoto dan diunggah lewat aplikasi. Itulah gambaran guru tahun 2020-an.
Di akhir pembelajaran guru tetap di kelas karena ia harus menyelesaikan portofolio di dua aplikasi yang kadang tidak terintegrasi, harus upload hari ini, lengkap dengan posisi geografi di mana dia mengupload, jam berapa dan seterusnya, dan seterusnya.
Guru tahun 1970-an pasti berbeda dengan guru tahun 2020-an, apalagi guru tahun 1940-an dan seterusnya dan seterusnya. Tetapi kita juga bisa setuju bahwa guru tahun 2040-an juga pasti berbeda dengan guru sekarang yang sedang kita perbincangkan, atau kita selidiki mana yang lebih baik di antara semuanya.
Beruntunglah siapa yang sempat mengalami pendidikan di era 70-an, karena kita bisa membandingkan dengan pendidikan hari ini, diajak berdebat dan berdiskusi kita selalu mencari jalan terbaik dari kedua sisi zaman di atas.
Lebih beruntung lagi guru yang hidup di zaman kini, dia benar-benar merasakan kemudahan mengajar yang didukung oleh teknologi. Bahkan dengan gawai serta berbagai fitur aplikasi ia dapat menerabas waktu sampai zaman sebelum masehi, guru zaman dulu, apalagi zaman sekarang.
Dengan mudahnya ia dapat meramal bagaimana guru yang dibutuhkan untuk zaman yang bahkan belum terpikirkan.
Siapa yang menjadi guru biasanya dari keluarga guru, atau murid yang mengidolakan guru secara berkelanjutan sampai ia memiliki fakultas keguruan, kemudian ia diterima dan jadilah ia guru.
Tetapi kita juga harus menyadari bahwa banyak pula profesi guru adalah orang yang tidak diterima atau lari atau pindah profesi dari fakultas yang ia pelajari secara akademis. Tamat dari fakultas hukum jadi kepala sekolah itu ada orangnya, tamat dari fakultas pertanian jadi guru banyak datanya, tamat dari fakultas dakwah menjadi guru tidak sulit mencari siapa dan di mana, dan banyak lagi.
Ini bukan soal balas dendam, atau balas fakultas, karena memang banyak juga alumni fakultas kependidikan dan keguruan atau tarbiyah bekerja di sektor lain, menjadi conten creator, kerja di mini market, ada yang jadi karyawan, atau owner sebuah perusahaan.
Banyak ceritanya, bahkan lembaga pendidikan selalu sukses bukan dari mereka tamatan manajemen pendidikan tetapi dari berbagai disiplin ilmu dan pengalaman. Itulah pendidikan dan keguruan hari ini.
Kembali ke gambaran seorang guru, dimana kita ingin melihat bahwa guru harus memiliki keterampilan dasar dalam mengembangkan profesi. Keterampilan dimaksud dapat diasah lewat pengalaman terlebih lewat bakat yang memang ia miliki.
Namun hal-hal yang bersifat non administrasi seperti; keterampilan mengajar, keterampilan melakukan pembinaan, keterampilan memberikan perasaan cinta dan kasih sayang sampai keterampilan penguasaan materi.
Ini sangat penting, karena ditangan gurulah kegiatan belajar mengajar akan sukses atau tidak. Bila kini guru lebih banyak dibebani hal-hal administratif seperti aplikasi, login, password, upload, kurnas, kurmer dan segala macam istilah lainnya, hampir pasti, dan pasti berkurang waktunya untuk mengajar, apalagi cerita mendidik dengan hati.
Tetapi itulah keadaan, itulah kenyataan, kini saatnya kita kembalikan fungsi dan peran guru, sebagai pendidik. Ya, pendidik karena dia adalah role model yang menjadi inspirasi bagi murid hari ini untuk masa yang akan datang. Kalau tidak mau jadi role model, mungkin lebih baik kembalilah ke niat awal, mau jadi guru atau orang yang tidak lagi di gugu dan tidak ditiru.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.