Dalam kehidupan keseharian sejak pendidikan usia dini, anak-anak harus sudah menerima nilai perbedaan sebagai kekayaan, perbedaan adalah ciptaan dan kehendak Allah, perbedaan mewakili yang baik dan buruk, atau benar dan salah. Karena itu, pola pembiasaan sikap berpikir positif (positive thinking), yang dalam bahasa agama disebut Husnuz zhan (baik sangka), tenggang rasa, saling memahami dan menghargai harus menjadi bahagian perilaku anak dalam berhadapan dengan orang lain yang berbeda. (Husna Sari Siregar, 2016:19).
Satu anak di dalam keluarga adalah menjadi kesayangan ayah dan ibunya, dua anak dalam keluarga pasti ada bandingan diantaranya, dan tiga anak atau lebih maka ada yang menjadi terpilih baik jadi pimpinan maupun anggota.
Setiap anak memiliki posisi apakah menjadi anak sulung, anak bungsu atau anak tunggal dan seterusnya, dan posisi tersebut membentuk kepribadian bagaimana ia harus berperan dalam berbagai situasi.
Dalam lingkungan keluarga ternyata kita juga harus memulai apa yang disebut dengan perbedaan, dalam hal ini perbedaan posisi anak akan menunjukkan bagaimana perbedaan peran di antaranya.
Untuk itulah maka orang tua yang menjadi kepala rumah tangga harus peka dan memahami posisi ini, bagaimana memberi kesempatan semua anak memiliki tanggung jawab terhadap interaksi yang positif. Apapun posisi anak dia memiliki hak dan kewajiban untuk sama-sama menjadi bagian yang terbaik dalam keluarga.
Apa yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk hal ini, diantaranya adalah:
Pertama, Orang tua yang memiliki kepedulian ini biasanya akan melakukan pola pembiasaan sikap berpikir positif (positive thinking), yang dalam bahasa agama disebut husnu zhan (baik sangka). Berilah kesempatan setiap anak untuk menyampaikan pendapatnya, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya, dan selalulah apresiasi apapun yang dicapainya.
Kedua, para orang tua harus memahami bahwa tenggang rasa itu adalah bagian penting untuk memberi peran berbeda pada anak. Tidak ada anak yang sama walaupun kembar sekalipun, untuk itu kesalahan atau kekurangan harus dijadikan bagian dari tugas yang lain melengkapi dan memberi dukungan untuk perbaikan atau penyempurnaan.
Ketiga, sekali lagi setiap anak itu berbeda satu dengan lainnya, keperbedaan tersebut bukan karena lingkungan semata, tetapi juga karena memang sifat dasar setiap anak itu unik secara psikologis. Untuk itulah para orang tua harus membiasakan diri agar semua anggota keluarga saling memahami dan menghargai harus menjadi bahagian dari kebiasaan sehari-hari.
Apa yang dilakukan orang tua di atas lambat laun bukan hanya menjadi kebiasaan, tetapi akan tercermin ketika anak keluar rumah berperilaku dalam berhadapan dengan orang lain yang berbeda. Kita harus ingat apa yang ada dalam keluarga akan menjadi citra yang terbaik bagi masyarakat, keluargamu martabatmu.
Doktor Husna Sari memberi catatan kepada kita bahwa bahwa dalam kehidupan keseharian sejak pendidikan usia dini, anak-anak harus sudah menerima nilai perbedaan sebagai kekayaan, perbedaan adalah ciptaan dan kehendak Allah, perbedaan mewakili yang baik dan buruk, atau benar dan salah.
Ini sangat tepat sekali, memang pendidikan itu dimulai dari keluarga yang kecil, baru siap di masyarakat yang terbatas, dan akhirnya lahirlah bangsa yang besar.
Bila anak sudah dididik untuk saling menghargai adanya perbedaan satu dengan lainnya, maka masyarakat dan bangsa ini akan kuat dalam hal moderasi beragama, atau apapun itu namanya.
Yang pasti hari ini kita butuh keluarga-keluarga kecil yang demokratis, berbeda tetapi memilliki tujuan sama yakni kebahagiaan untuk seluruh anggotanya.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.