Muhammad telah secara lugas memerintahkan kepada para pengikutnya untuk berfokus pada gagasannya, bukan pada kehidupan dan pribadinya. (Mohamad Jebara.2021:xvi).
Autobiografi menjadi salah satu ilmu untuk mengungkap berbagai hal terkait kehidupan seseorang, apakah subyektifitas maupun obyektifitas selalu menjadi pergumulan bagaimana mengurai antara angka, data, fakta menjadi berita yang menarik tentang seseorang.
Lebih dari itu kontekstualisasi atau setting sosial menjadi pertimbangan tersendiri sebagai ramuan bagaimana mengungkap hal-hal menarik tentang kehidupan seseorang.
Muhammad sebagai seorang anak lahir tanpa ayah, apakah itu sebagai angka dimana anak tunggal lahir 571 M, sampai usia 6 tahun ia ditinggalkan oleh ibunya maka jadilah ia yatim piatu. Dari data ini kemudian dinarasikan menjadi fakta terkait saat kelahiran terjadi peristiwa permusuhan yang memuncak antar beberapa suku di tanah Arab.
Sungguh angka selalu memberikan informasi tentang jumlah nyata, kemudian data kita diajak untuk membandingkan satu dengan lainnya, sampailah fakta yang menjadikan semua informasi itu menjadi berita.
Menarik atau tidak tergantung kontekstualisasi bagaimana saat kita menyampaikan kepada siapa yang akan kita berikan berita tersebut.
Mohamad Jebara dalam kisahnya mengumpulkan berbagai dokumen selama 40 tahun lebih, bahkan mengharuskannya belajar berbagai bahasa termasuk bahasa Smit.
Semua ia lakukan untuk mengurai apakah berita tentang Muhammad benar-benar sesuai fakta yang didukung oleh angka dan data. Sungguh kajian spesifik yang mungkin berbeda dari yang kita kenal atau pahami selama ini.
Kali ini sebuah buku karya Mohamad Jebara justru memberikan satu penegasan awal bahwa sebagai seorang nabi; Muhammad sendiri secara jelas memberikan metodologi tiga tahap dalam sebuah hadis klasik mengenai lebah yang mengumpulkan sari bunga untuk diproses menjadi madu:
– Awali dari nol. Dan kumpulkan informasi dari berbagai sumber tanpa prasangka.
– Analisis semua informasi untuk menentukan bagian-bagian yang bisa digunakan.
– Rangkum bukti-bukti yang tersisa dengan cara-cara yang dapat menghasilkan manfaat. (13).
Itulah logika dalam angka, kita harus mengawali satu perjalanan ilmu pengetahuan tanpa prasangka, hilangkan emosi apalagi tujuannya untuk memutarbalikkan sesuatu yang selama ini telah kita yakini.
Dari nol tetapi nol itu ada beda dengan kosong, artinya nilai netralitas dalam ontologi tidak dapat dilepaskan bagi ilmuwan yang ingin mendalami Muhammad. Meneruskan kaitan antara satu fakta dengan fakta lainnya, maka kita akan ditantang untuk membuat dalil.
Inilah pekerjaan yang sangat berisiko di mana semua informasi yang kita temukan harus dirinci dan kemudian disatukan lagi sesuai dengan kodifikasinya, dan kita pun boleh melahirkan beberapa dalil untuk diuji pada tahap berikutnya.
Pekerjaan epistimologi ini sesungguhnya tetap diharapkan agar seobyektif mungkin, walalupun nilai yang mengiringinya tetap dijunjung tinggi yakni kejujuran, tanpa tendensius untuk kepentingan tertentu.
Sampailah pada akhir dari hubungan antar dalil, dimana kajian harus memiliki ujung apakah itu kesimpulan maupun rekomendasi. Bukti sebagai verifikatiko fakta telah ada didepan mata, maka kemampuan olah kata menjadi narasi yang baik tentang sesuatu menjadikannya hasil yang bermanfaat bagi ummat manusia.
Aksiologi pun tidak dapat ditunggu lagi, karena akhir dari perjalanan keilmuan sampai saatnya telah selesai. Benar ketika kita menulis Muhammad sebagai nabi, subyektifitas sulit, dan mungkin saja mustahil dihilangkan.
Namun paling tidak kita diajak oleh Mohamad Jebara untuk selalu mengingat apa yang dipesankan oleh nabi kita bahwa; Muhammad telah secara lugas memerintahkan kepada para pengikutnya untuk berfokus pada gagasannya, bukan pada kehidupan dan pribadinya.
Kontekstualisasi Muhammad sebagai nabi tetap menarik, angka, dan data apapun yang disajikan kadang kala tidak mengusik perubahan emosi. Atau justru bila ada data baru ditemukan dengan metodologi an-autobiografi menantang kita apakah emosi tetap menjadi ukuran untuk mengerti Muhammad atau tidak.
Terlanjur cinta, apapun tidak dapat menghalanginya, justru dari sana kita membuat segala macam standar obyektifitas dan subyektifitas tentang semua jenis pengetahuan.
Hah….memang buku Jebara ini mengusik dan menantang untuk bertanya ulang tentang kisah-kisah nabi kita.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.