Kekerasan seksual dalam realitasnya terjadi juga di dalam perguruan tinggi Keagamaan Islam (PTKI), namun PTKI sendiri belum memiliki satu aturan dan mekanisme Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di dalam dan diluar lingkungan kampus yang melibatkan civitas akademik. Dari temuan dan analisa sosio-legal diketahui bahwa hukum positif Indonesia masih parsial dan belum cukup rinci mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. SK Dirjen Pendis menggunakan definisi bentuk kekerasan seksual mengacu pada RUU Penghapusan kekerasan seksual, dimana satu sisi memiliki keberpihakan pada korban namun pada sisi lain memiliki potensi masalah dalam penerapan SK Dirjend Pendis ke depannya. Peraturan dan Draft peraturan rektor di PTKI termasuk di UIN SU berusaha mengacu pada SK Dirjend Pendis namun tidak sepenuhnya mengacu pada SK Dirjend Pendis, untuk memastikan terpenuhinya aspek yuridis, sosiologis, filosofis dan aspek struktur PPKS serta kemanfaatan pada korban dan civitas akademik. (Muhammad Jailani, 2020).
Satu ketika ada seorang dosen setengah baya memberi bimbingan kepada mahasiswa, dengan jadwal yang telah telah ditetapkan, namanya juga mahasiswa siap hadir, tetapi pada waktunya izin telat karena macet, izin terlambat karena sedang ada kegiatan organisasi dan lain sebagainya.
Dosen yang melakukan jadwal ulang untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa selalu disepakati kadang juga selalu diingkari, entah siapa yang memang sibuk, entah yang mana pula yang belum mood untuk ketemu. Ketika komunikasi antara dosen dan mahasiswa berlangsung, ada satu hal yang berbeda, keduanya sepakat kadang janji di kampus, kadang juga di cafe, atau di hotel.
Di kampus karena memang dosen sekaligus membuat jadwal pembimbingan sebagai penasihat akademik, di cafe sekaligus dosen menerima jadwal diskusi dengan kolega untuk pengabdian masyarakat, karena sibuknya kadang di hotel di mana dosen sedang seminar, maka diwaktu rehatnya ia melayani mahasiswa. Hemmm.
Sungguh enak jadi dosen, tetapi lebih enak jadi mahasiswa sudah diberi waktu, dibimbing, dan diberi kesempatan kapan saja di mana saja. Sesekali ada cerita miring tentang dosen menerima mahasiswa di tempat tertentu, memang suasana tempat kadang mempengaruhi bagaimana orang bersikap.
Sebelum terlanjut kepada hal-hal yang diinginkan satu pihak, kata “hotel” adalah hal yang sedikit tidak biasa bagi mahasiswa interaksi dengan dosen. Namun ini terjadi semua menjadi biasa-biasa saja karena sudah dilakukan dan menjadi kebiasaan. Entah mana yang benar mana pula yang salah, kita menjadi tak terbiasa untuk memilah, apalagi mempermasalahkannya.
Bukankah dari hal yang kecil seperti ini bisa terjadi hal yang sulit diterima, nilai etis interaksi dosen dan mahasiswa bukan tidak mungkin bisa terjadi lebih dari sekedar bimbingan? Untuk itu memang perlu apa yang disebut dengan pencegahan.
Pencegahan itu tidak sekadar menghindari dari apa yang akan terjadi pada kasus tertentu, maka di perguruan tinggi ada yang disebut dengan regulasi. Inilah sebuah kesadaran yang dilakukan oleh seorang
Dr Muhammad Jailani, deteksi dini yang beliau sampaikan bukan sekadar “omon-omon”, tetapi lewat data dan fakta. Menurut temuan beliau bahwa data lapangan pada penelitian kekerasan dan pelecehan seksual tahun 2019 dan 2020 serta dokumen kepustakaan. Kemudian dilakukan analisa sosio-legal diketahui bahwa hukum positif Indonesia masih parsial dan belum cukup rinci mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Dari hal di atas, ketika induksi pemikiran ini mengarah pada hal yang bersifat umum, maka jelaslah kekerasan seksual dalam realitasnya terjadi juga di dalam Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), namun PTKI sendiri belum memiliki satu aturan dan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di dalam dan di luar lingkungan kampus yang melibatkan civitas akademik. Untuk itu dilakukan analisa pentingnya aturan PPKS di PTKI dengan mengacu pada SK Dirjend Pendis tentang PPKS di PTKI dan aturan hukum di Indonesia.
Memang kita boleh saja berbincang dan berdiskusi disekitar SK Dirjen Pendis menggunakan definisi bentuk kekerasan seksual mengacu pada RUU Penghapusan kekerasan seksual, di mana satu sisi memiliki keberpihakan pada korban namun pada sisi lain memiliki potensi masalah dalam penerapan SK Dirjen Pendis ke depannya.
Tetapi apa yang kini dihadapan kita adalah Peraturan dan Draft peraturan rektor di PTKI termasuk di UIN SU berusaha mengacu pada SK Dirjen Pendis namun tidak sepenuhnya mengacu pada SK Dirjend Pendis, untuk memastikan terpenuhinya aspek yuridis, sosiologis, filosofis dan aspek struktur PPKS serta kemanfaatan pada korban dan civitas akademik.
Hem…. cerita kekerasan memang mengerikan, tetapi ketika cerita seksual sedikit sensitif, terlebih menyangkut hal di perguruan tinggi antara dosen dan mahasiswa, atau antara pendidik yang memiliki otoritas keilmuan dengan peserta didik yang berposisi sebagai pencari ilmu pengetahuan.
Mungkin dari sini kita mulai melakukan sebuah kesadaran bersama, pertama mari kita bangun komitmen untuk peduli dengan lebih mengerti dan memahami apa itu pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS), kedua mari kita rencanakan paling tidak rencana pendidikan, rencana pembelajaran kita arahkan adanya satu sesi untuk mencatat hal ini sudah pantas didiskusikan. Dan akhirnya satu saat nanti akan menjadi gerakan pencegahan yang masif.
Dr Jailani sebagai penjaga gawang terkait kepedulian ini tentu tidak mungkin berjalan sendiri, apalagi dengan jumlah mahasiswa puluhan ribu di kampus UIN Sumatera Utara Medan, tim dan strukturisasi akan lebih efektif bila kita mulai saat ini juga.
Bila ini benar-benar terjadi, dosen dan mahasiswa boleh saja berjumpa di mana-mana tetapi ia akan terlindungi dengan kode etik, kesadaran tinggi, serta dalam rangka mencapai tujuan perguruan tinggi yang sama kita cintai. Aamiin.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.