Lembaga agama adalah mitra pemerintah dalam perbaikan umat. Sudah sepantasnya lembaga-lembaga agama mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam rangka membangun sikap beragama, membangun mental dan kepribadian umat supaya ikut bersama membangun, menjaga dan melestarikan pembangunan. Munculnya miskomunikasi antar umat beragama diawali oleh persepsi terhadap penilaian agama yang berbeda dalam masyarakat. (Harahap,2023:5).
Ketika individu melaksanakan ajaran agama, maka ia akan menjalankan sesuai dengan ajaran, serta melaksanakan sesuai dengan ketentuan.
Namun ketika individu berinteraksi dengan individu lain bila itu sama melaksanakan ajaran agama, dilengkapi dengan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran, maka di sana lahirlah apa yang disebut dengan umat beragama.
Jadi individu harus menyadari ketika dirinya berjumpa, bersama atau berjamaah maka di sana adalah hukum lain yakni hukum berjemaah, hukum berinteraksi yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota individu.
Inilah yang harus dipahami dan dijadikan persepsi yang benar, karena apabila munculnya miskomunikasi antar umat beragama dikarenakan diawali oleh persepsi terhadap penilaian agama yang berbeda dalam masyarakat.
Agar individu dapat menjalankan ajaran agama dengan baik, kemudian ia diterima oleh masyarakat, selanjutnya tidak ada masalah, maka masyarakat sendiri juga memiliki tanggung jawab.
Tanggung jawab tersebut dapat diberikan lewat organisasi, komunitas atau lembaga baik formal oleh pemerintah maupun yang dilakukan secara swadaya masyarakat.
Hal inilah yang harus dipahami karena memang sudah sepantasnya lembaga-lembaga agama mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam rangka membangun sikap beragama, membangun mental dan kepribadian umat supaya ikut bersama membangun, menjaga dan melestarikan pembangunan.
Secara bersama membangun mental sikap beragama, adalah dengan kegiatan utama yakni pendidikan toleransi, dari sejak keluarga, sekolah terlebih ceramah-ceramah di rumah ibadah.
Kita bayangkan bila semua bekerjasama untuk membangun mental sikap beragama yang baik, maka semua lini akan memberikan kontribusi positif membangun mental masyarakat.
Secara bersama menjaga mental sikap beragama, dapat dipahami sebagai sebuah kehati-hatian ketika menghadapi ada masalah interaksi antarumat beragama. Individu ketika menjalankan tugas beragama khususnya ketika ia berjumpa dengan agama lain pasti pernah mengalami masalah.
Makna menjaga mental sikap beragama, akan menuntun individu bahwa ia harus saling menjaga, menghormati, dan memberikan kebaikan demi kepentingan yang lebih luas. Ingatlah kebaikan individu dalam beragama juga diukur dari kemampuan dirinya menerima perbedaan dalam beragama dengan orang lain.
Secara bersama melestarikan sikap beragama adalah dengan menempatkan kebaikan masa lalu untuk dipertahankan, sementara sejarah kelam haru dijadikan pelajaran untuk dihindari.
Konflik beragama pasti ada, jadikanlah itu pelajaran, tetapi pengalaman atau praktik baik menerima keperbedaan baik tetangga dalam masyarakat, rekan kerja di kantor, atau sesama pengurus organisasi adalah hal baik.
Kebaikan yang selama ini dialami dapat dijadikan pelajaran baik untuk dirinya sendiri terlebih untuk orang lain, tentang menjaga perlunya kerja sama.
Ketiga hal di atas, akan berjalan dengan baik dan lancar, ketika masyarakat melakukannya dengan kesadaran tinggi, dan lebih utama lagi apabila lembaga agama dianggap sebagai mitra pemerintah dalam perbaikan umat.
Intinya pemerintah satu sisi menjadi police terhadap hubungan antarumat beragama, tetapi pemerintah juga harus berterimakasih terhadap lembaga atau organisasi yang menjaga praktik baik hubungan antarumat bergama.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.