Dalam spektrum perasaan manusia, tiap emosi sarat dengan “isyarat” atau kecerdasan masing-masing. Ini tidak terjadi begitu saja pada kita; hati nurani kitalah yang membangkitkannya, selalu karena suatu alasan, selalu untuk mengkomunikasikan sesuatu. Dan emosi berpindah-pindah dalam suatu rentang intensitas tertentu. Kemampuan mengalami puncak semangat dan kegairahan, misalnya, sepadan dengan kemampuan anda mengalami frustasi dan kemarahan bukan reaksi yang terjadi karenanya. (Cooper dan Sawaf,2002:65).
Dengan sengaja kita dapat mendatangi satu tempat untuk beribadah, dan konsentrasi disiapkan, segala usaha dilakukan, khusu`lah menjadi harapan, semoga doa dapat dikabulkan, hasilnya belum tahu…..
Kadang juga dengan sengaja kita mendatangi satu tempat untuk berlibur dimana lokasi telah diketahui, dipahami kemudian persiapan matang meninggalkan segala beban, di tempat wisata mungkin dapat menghilangkan sebagian masalah hidup, hasilnya…..belum tentu.
Tetapi kadang kita mengalami satu hal yang sangat penat, tuntutan untuk menyegerakan satu tindakan namun perlu pertimbangan itu lebih sulit dikompromikan, jadilah ragu, atau bahkan tanpa kendali semua berjalan sendiri. Hasilnya kadang tak disadari.
Inilah manusia, unik, tetapi merasa diri kadang dapat mengendalikan, dengan perencanaan yang matang penuh perhitungan, bahkan pengelolaan yang profesional penuh dengan kepiawaian, seakan semua bisa dikendalikan oleh apa yang disebut pikiran.
Satu yang ia lupakan bahwa ada perasaan di ruang tunggu ketika mengambil keputusan, hasilnya….bisa saja pikiran lebih di depan, atau kadang perasaan mewakili intuisi lebih menentukan.Kita juga harus berpikir, bisa saja hasil lebih ditentukan oleh hal lain diluar kedua alasan tadi.
Dalam satu tindakan kita kadang berubah pikiran, apakah karena alasan perasaan, atau alasan lain tetapi itu nyata. Jarang kita melakukan keputusan dengan menunggu apa pertimbangan perasaan, apalagi diungkap dihadapan pihak yang berlawanan.
Dalam psikologi kita harus menyadari bahwa; Kemampuan mengalami puncak semangat dan kegairahan, misalnya, sepadan dengan kemampuan anda mengalami frustrasi dan kemarahan bukan reaksi yang terjadi karenanya.
Ini artinya pertimbangan diri sendiri itu adalah hal utama bukan pada orang lain atau pihak lawan. Jadi tidak ada alasan menyalahkan orang lain apapun ceritanya, yang ada adalah mengapa kita mesti menjadikan dia ada dalam pikiran atau perasaan kita. Apalagi membawa orang lain untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, jelas fatal kecuali.
Mari kita percaya dengan diri sendiri, boleh saja kita mendengar dan mempertimbangkan masukan orang lain dan ini disebut dengan nasihat. Untuk itu kita selalu mempertimbangkan bahwa; dalam spektrum perasaan manusia, tiap emosi sarat dengan “isyarat” atau kecerdasan masing-masing.
Ini tidak terjadi begitu saja pada kita; hati nurani kitalah yang membangkitkannya, selalu karena suatu alasan, selalu untuk mengkomunikasikan sesuatu.
Hal apa yang dikomunikasikan adalah tentang keadaan diri kita, tentang keinginan yang akan kita capai, dan akhirnya pertimbangan untuk melakukan sesuatu.
Jadi bila kita ingin ke tempat ibadah, siapkan emosi untuk menggapai sang pemilik yakni ridha Ilahi rabbi. Bila kita ingin ke tempat wisata, buatlah keputusan emosi, dengan itu biaya ataupun kesibukan waktu tak ada gunanya. Dan boleh saja kita jadikan ibadah adalah wisata rohani yang penuh emosi untuk dinikmati secara personal dengan tidak menganggu orang lain.
Sederhana sebenarnya memindah-mindahkan emosi itu penting tujuannya jelas agar lebih bermanfaat dan untuk hidup bahagia.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.