“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan `sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”. (Suryaningrat, 1913).
Selamat hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79. Dirgahayu bangsaku, semoga masa lalu dapat menjadi pelajaran bagaimana mengelola republik hari ini. Dengan pelajaran itu kita dapat optimis tentang masa depan bangsa agar lebih baik lagi.
Tanggal 17 Agustus 1945 adalah tonggak sejarah di mana bangsa kita memproklamirkan kemerdekaan dari penjajahan, penjajahan dari segi politik, ekonomi, sosial.
Kemudian kita merdeka untuk mengatur politik sendiri, menata ekonomi yang mandiri serta menjadikan bangsa Indonesia adalah memiliki strata sosial saling menghargai dan menghormati.
Mengapa mesti diawali dengan politik, karena bangsa, masyarakat, rakyat, suku, agama, ras, golongan serta semua penduduk akan disatukan dalam satu ideologi lewat politik.
Dengan politik kita dapat mengatur, menata, mengelola serta mengendalikan potensi, keadaan serta siap untuk sebuah cita-cita atau tujuan.
Memang politik itu menyatukan, tetapi mengelola perbedaan itu juga tujuan, jadi bila ada dengan sengaja kita harus berbeda seperti berbeda partai politik, berbeda fakultas itu adalah pilihan, yang satu adalah tujuan tidak saling membenci karena berbeda memilih.
Kita juga harus merdeka dari segi ekonomi, karena sejengkal ketiga dari badang kita adalah persoalan “perut”. Bila perut sudah kenyang apapun bisa dibuat, bila perut belum kenyang maka semua isi badan sulit dikendalikan, karena perut itu sendiri yang akan mendorong dan mengatur apapun yang ada di sekelilingnya.
Mandiri dalam ekonomi bukan sekadar swasembada, tetapi dari sejak pengelolaan Sumber Daya Alam, sampai Sumber Daya Manusia serta Sumber Daya Infrastruktur harus berkeadilan.Adil bagi rakyatnya sendiri, mandiri untuk berdikari jadi tidak tergantung atau interdepedensi yang berkelanjutan.
Masyarakat yang tumbuh dan berkembang memang tidak terlepas dari pengaruh dunia luar. Internasionalisasi, globalisasi serta pergaulan yang tidak dapat dibatasi oleh dinding ideologi, apalagi tapal batas zona ekslusif sebuah negara.
Kini dari kamar yang kecil seorang anak telah dapat dan mampu bermain dengan rekannya di belahan dunia lain. Bagaimana agar masyarakat kita memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan potensi yang ditawarkan, bukan menjajakan dengan negosiasi.
Artinya kita harus mampu mengangkat derajat kearifan lokal masyarakat kita sehingga orang lain di luar sana tertarik dan datang untuk mencari. Maka kitalah berperan sebagai sumber inspirasi, itulah konsep sosial yang matang, tidak latah meniru apalagi menjiplak budaya bangsa lain.
Kita masih ingat jargon calon gubernur Sumatera Utara awal tahun 2000-an; saya ingin masyarakat kita tidak lapar, tidak bodoh dan tidak sakit.
Sungguh Syamsul Arifin menjadikan ketiga hal ini sebagai bagian dari kesederhanaan dalam bahasa, menarasikannya dalam program kemandirian ekonomi, kesungguhan dalam pendidikan, dan kepedulian tentang kesehatan.
Semoga kemerdekaan tahun ini benar-benar memiliki arti bagi setiap anak bangsa, dari ruang yang paling kecil seperti di kamar tidur sebuah rumah, di kelas belajar sebuah sekolah, dari manapun kita harus merdeka. Mampu mengatur sendiri arah dan kebijakan untuk ideologi, kekuatan pangan untuk ekonomi, serta menyejahterakan masyarakat sekitar untuk kekuatan sosial.
Pemikiran Suwardi Suryaningrat jauh melampaui zamannya, ia memang mengalami masa sulit di zaman penjajahan Belanda, zaman Jepang, sampai zaman awal Kemerdekaan RI.
Akhirnya kini kita yang ada di awal tahun 2000an kita baru merasakan anggaran pendidikan 20% mestinya kemerdekaan bagi insan pendidikan untuk mengelolanya, tetapi kita masih terjebak pada tidak merdekanya politik dan ekonomi.
Semoga karya Suwardi yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara ini menjadi renungan di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Dirgahayu.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.