Hari-hari terakhir Pak Marmuj sibuk dengan Merdeka Belajar, dan Belajar Merdeka, ini ganti menteri, mungkin saja ganti kurikulum. Memang kata kurikulum itu sepertinya sederhana, tetapi bagi seorang guru, dan seluruh insan pendidikan justru dari kurikulum itulah bisa mengubah paradigma, seperti perubahan yang terjadi pada abad-lampau.
Seperti biasa hari pertama belajar semua murid duduk pada posisi pilihan orang tuanya, mereka duduk ada yang di depan ada pula yang di depan kali, dan ada yang harus di depan tidak mau pindah ke belakang. Hem…itulah pandangan yang selalu terjadi di hari pertama pembelajaran.
Pak Marmuj sedikit kebingungan melihat suasana ini. Sebagian orang tua menganggap kalau duduk di depan dapat memperhatikan penjelasan guru, maka-anaknya semoga jadi pintar paling tidak seperti Albert Einstein yang selama sekolah selalu duduk di depan.
Pak Marmuj mencoba berjalan ke belakang, keliling, sebagian anak ada yang justru melihat dan memperhatikan. Inilah mungkin tipe visual. Ya visual itu kan dari kata visi artinya melihat atau dua dimensi, mungkin anak-anak yang senang memperhatikan ini adalah mereka yang akan mempelajari dari sesuatu yang dilihatnya.
Pak Marmuj mencoba memperagakan tangan dengan mengayunkan, ternyata ada sebagian anak yang senang mengikuti dan menggerak-gerakkan, inilah tipe belajar kinestetik. Ya Pak Marmuj percaya ini adalah anak yang lebih menonjolkan gerak kinestetik, mungkin mereka akan mudah belajar bila dengan gerakan.
Dan akhirnya Pak Marmuj mencoba menyampaikan sesuatu dengan suara yang kuat, lama-lama sedang, dan akhirnya ia seperti berbisik. Di tengah tempat duduk, ia mencoba memperhatikan siapa anak yang masih dapat mendengar walaupun dengan suara paling rendah.
Di sudut kelas ada beberapa anak, dan ini mungkin yang dapat dikelompokkan anak tipe belajar audio, pikir Pak Marmuj. Ya audio maksudnya mereka adalah anak-anak yang akan belajar dengan mengandalkan kemampuan pendengaran, atau dengan suara sebagai bagian dari kesenangan dalam belajarnya.
Ya hari pertama belajar, Pak Marmuj hanya melihat fenomena orang tua yang
mengantarkan anak dan mengatur, memilih tempat duduk anaknya, tidaklah dicegah. Tetapi fenomena ini paling tidak sebuah kepedulian orang tua terhadap cara belajar anak telah terjadi.
Hari kedua Pak Marmuj memulai pembelajaran dengan membuat tes kecil apa itu audio, visual dan kinestetik. Ia melantunkan satu nyanyian anak-anak, nah siapa yang cepat nangkap, tampak bakat dan hobi kemudian ini adalah anak dengan tipe belajar audio.
Menempatkan tempat duduk anak berdasarkan tipe gaya belajar visual, maka mereka harus ditempatkan untuk duduk di bagian depan. Tujuannya agar dapat memperhatikan guru dan memperoleh kesempatan untuk menangkap materi lewat penglihatan yang lebih optimal.
Menempatkan tempat duduk anak untuk tipe gaya belajar audio, maka mereka sebaiknya ditempatkan duduk di bagian tengah. Tujuannya agar dapat mendengarkan apa yang ada di depan, dan tidak terlalu terganggu oleh suara dari latar belakang kelas.
Memosisikan tempat duduk anak untuk tipe gaya belajar kinestetik, maka mereka sebaiknya ditempatkan duduk di bagian belakang. Tujuannya agar anak akan lebih leluasa untuk mendayagunakan seluruh anggota tubuh dalam menangkap pelajaran. Dengan tidak mengganggu teman-teman lainnya.
Hari ketiga masuk, Pak Marmuj melihat semua anak tidak lagi berkerumun ingin duduk di depan, mereka sudah mendapatkan tempat yang nyaman, dan ternyata yang utama bukan tempatnya, tetapi teman dimana mereka bisa saling berbagi untuk bersama belajar.
Hari keempat Pak Marmuj masuk kelas sudah dengan senyum, semua ruangan rapi, anak-anak bahagia, dan tempat sudah terisi sesuai dengan jumlah anak. Tidak ada lagi berebut tempat duduk, dan lebih utama lagi tidak ada lagi orang tua yang ikut masuk kelas memilihkan tempat duduk anak.
Hari kelima Pak Marmuj masuk kelas dan sedikit heran, mengapa tidak ada anak di kelas, tidak ada lagi yang duduk seperti yang dibiasakan selama ini. Ia melihat jam telah menunjukkan waktu belajar, bukan saja keheranan, penasaran bahkan sedikit kebingungan.
Pak Marmuj seperti bicara sendiri; tempat duduk sudah ok, anak-anak sudah berkelompok sesuai dengan gaya belajar, kelompok anak sudah nyaman, orang tua juga sudah duduk di luar. Ada apa ya….. Pak Marmuj tambah bingun, pusing tujuh keliling, sampai terduduk di kursi guru.
Pak Marmuj seperti bicara dalam hatinya sendiri; apa lagi yang salah ya…., atau cara saya diprotes oleh orang tua…..jangan…jangan…..
Di tengah lamunannya, tiba-tiba bahu Pak Marmuj seperti disentuh oleh orang tak dikenal….. ee…… ternyata seorang guru menyapa; Pak Marmuj kita ini mau upacara, ya tidak ada anak di kelas, ayo pak segera ke lapangan.
Pak Marmuj; oh……yayayya. maaf. Semangat kali saya lihat anak-anak belajar.
Pak Marmuj Pak Marmuj, memanglah.
Tiga hal hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah:
Pertama; setiap anak memiliki kemampuan yang alami, dan harus dipahami sebagai sebuah kelebihan anak bila diposisikan dengan anak-anak yang lain. keperbedaan kemampuan anak adalah anugerah yang dapat dijadikan potensi bakat, dari sanalah seorang pendidik harus memulai mengamati, memelihara, mengembangkan serta menjadikan bagian dari hobi sekaligus pilihan profesi di masa depannya
Kedua; pembelajaran yang memperhatikan keperbedaan (diferensiasi), adalah hal mutlak, beda anak beda cara mengajarnya, beda pula cara mengevaluasinya. Karena benar setiap anak (individu) itu unik tidak ada yang sama satupun di dunia ini.
Ketiga; tempat duduk anak dalam belajar boleh saja itu biasa-biasa saja, tetapi dapat saja jadi masalah. Guru yang bijaksana ia akan memberikan pertimbangan terbaik, tentu berdasarkan pengalaman, kebaikan, serta untuk masa depan.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita bercari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari berbagai sumber.