Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Wajah yang selalu dilumuri senyum. Legam, tersengat terik matahari. Keperkasaannya tak memudar terbaca dari garis-garis di dagu. Waktu telah menggilas semuanya. Ia tinggal punya jiwa. Pengorbanan yang tak sia-sia untuk negeri yang dicintai, dikasihi. Wajah yang tak pernah mengeluh. Tegar dalam sikap sempurna. Pantang menyerah. Bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah.(Ebiet G Ade, 1987).
Pendidik adalah manusia, manusia terikat dengan waktu. Artinya, ia mengikuti perjalanan usia. Sepanjang usianya ia mengabdikan diri, mengukir sejarah dengan satu tema yakni; pendidikan.
Tak dapat dipungkiri, banyak diantara kita menjadikan mendidik adalah pekerjaan sampingan, atau sebagian teman kita menjadikan pendidik adalah tugas utama, atau bahkan satu-satunya hidup adalah mendidik di atas dunia ini.
Sebagian teman kita yang pertama, tentu bila ini menjadi awal dan akhir karier dia, maka pendidikan yang diukirnya adalah pendidikan yang dilakukan secara sampingan, kadang sembrono, sedikit tanggung jawab apalagi berharap peradaban lahir dari tangan-tangan orang seperti ini.
Kita sebenarnya berharap pendidik mereka boleh saja melakukan tugas mengajar tetapi jangan mengorbankan dunia pendidikan yang lebih luas. Saudara kita yang kedua di mana mendidik adalah tugas utama, ia mendapatkan imbalan, dan karier satu-satunya adalah dengan pendidikan.
Profesionalitas akan lahir dari orang-orang seperti ini, keseriusan yang dilakukan harus selalu kita ingatkan, bahwa tugas pendidik adalah sebenarnya bagian dari ibadah kepada Tuhan, ingat sekali lagi bukan ibadah bagian dari tugas mendidik. Sampai pada saudara kita yang ketiga di mana mendidik adalah bagian dari dirinya selama 25 jam satu hari satu malam.
Apa pun ceritanya, di manapun berada, kapan pun ia berkerja adalah mendidik. Kadang kadang-lupa diri, keluarga, anak, lupa lingkungan, bahkan lupa apa yang diajarkan sudah tidak penting lagi. Rapat, sidang, seminar, penelitian, menulis buku, membimbing skripsi semua perlu, tetapi ada waktu di mana kita harus berbagai peran.
Bagaimana supaya waktu kita tidak tergilas, apa upaya kita agar wajah tetap berseri, ternyata bila kita rela mengorbankan waktu, maka matahari yang terik akan menjadi penyejuk mata hati yang ikhlas.
Satu isyarat wajah adalah tanda sejuta pesan pendidikan yang bermakna. Sungguh Ebiet G Ade mengingatkan kita agar hidup tidak sia-sia, mulailah mendidik dengan wajah berseri apa pun yang ada di hadapan kita.
Pendidik inspiratif harus mampu menempatkan diri tidak mengeluh tetapi menjaga keseimbangan diri sebagai pendidik, sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, terlebih hamba Tuhan. Karena bisa saja menjadi pendidik bukan sekadar rencana hidupnya, tetapi lebih dipastikan oleh takdir Tuhan.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.