Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Berhenti pada satu pemikiran itu tidak baik, meneruskan pemikiran dengan mempertanyakan adalah lebih baik. Mengapa pemikiran sampai pada tingkat “Mazhab”, mengapa sebuah buku sampai membentuk pola pikir bahkan berbuah hikmah, bagaimana sebuah tulisan dapat melintasi alam lain, lintas generasi, bahkan antar disiplin ilmu. Bahkan apa yang harus kita lakukan untuk institusi kita dari pemikiran seorang Jujun S Suriasumantri?. (Azwani, 2023).
Menulis tentang pemikiran Jujun S Suriasumantri menuai banyak tanggapan, apakah itu refleksi pemikirannya, tentang riwayat hidupnya, tetapi yang menarik menempatkan Jujun sebagai “Mazhab” dalam berpikir di UIN Sumatera Utara.
Ada empat hal penting untuk meneruskan diskusi tentang Mazhab Jujun S.Suriasumantri.
Pertama; kita akan melihat siapa saat ini yg secara spesifik meneruskan pola kajian kefilsafatan “Mazhab” Jujun ini di kalangan para ilmuan di Indonesia?, tentu harus ditelusuri lebih jauh lagi.
Bila Mazhab dimaknai pengikut atau menjadikan pikiran seseorang menjadi paradigma pemikiran, maka sederhanya adalah orang-orang yang membaca buku Jujun selalu menjadikan referensi, dan pola pikir adalah jamaahnya.
Di saat yang sama Jujun yang alumni IPB, pernah menjabat sebagai direktur PPs IKIP Jakarta-UNJ, bukan hanya mahasiswa program magister dan doktor tetapi beliau juga tim di beberapa kebijakan pemerintah terkait perencanaan pembangunan. Maka ide dan gagasan pasti termaktub dalam setiap di mana beliau berperan.
Mazhab Jujun tentu menjadi sangat kontekstual, karena pada saat itu Sutan Takdir Ali Syahbana sebagai ketua semacam Forum Filsafat se-Dunia adalah sezaman mungkin saja rekan beliau, dan akhirnya mendapat ruang untuk berdiskusi.
Kedua, kita juga ingin mengetahui lebih jauh terkait tulisan dan buku” Jujun kalau kita baca tidak saja sekedar membentuk kompetensi berpikir tetapi sekaligus menumbuhkan kesadaran batiniah keilmuan.
Sungguh kita sadari bahwa, buku Jujun S Suriasumantri yang ketiga perlu dicatat Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, anak judul ini memberikan gambaran bahwa mempelajari filsafat tidak mesti ke fakultas formal, siapapun bisa. Buktinya filsafat sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, terlebih contoh yang diberikan dalam buku tersebut adalah reality nyata sehingga kita dibawa di alam filsafat tanpa kita sadari.
Jujun selalu menyadarkan kepada kita bahwa benar bila di tataran ontologi, dan epistimologi kita harus bebas nilai, tetapi pada akhirnya aksiologi kita harus memberi kebahagiaan ummat manusia. Apakah ini karena beliau pernah menjadi muridnya Andi Hakim Nasution atau karena banyak bergaul dengan dosen di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Teman-teman yang pernah kuliah dengan beliau mungkin lebih faham.
Ketiga, kita penasaran bahwa yang membuat tulisan dan “buku” Jujun digandrungi pembaca di lintas disiplin dan waktu entah sampai kapan. Saya jadi teringat bahwa “teori tidak ada yang salah atau benar”, tetapi “teori dipakai atau tidak dipakai”. Sepertinya kita cemburu mengapa tulisan jujun kok sampai sekarang dipakai terus ya.
Ketika Sidi Gazalba menulis buku Sistematika Filsafat menurutnya ada tiga pendekatan mempelajari filsafat ini yakni; sistematika filsafat, sejarah filsafat, dan pembahasan kritis filsafat. Kemudian secara formal rekan-rekan saya yang pernah membawa buku filsafat tebal-tebal seperti karangan Titus Nolan, menyimpulkan mempelajari filsafat itu; sejarah (kronologis), studi tokoh (subyek), studi aliran (Idealisme, Realisme, Eksistensialisme), dan sistematika (ontology, epistimologi dan aksiologi),
Kita tidak tahu persis apa yang dikembangkan oleh Jujun. Tetapi membahas tuntas sistematika dikaitkan dengan pengalaman kita sebagai akademisi sepertinya fungsi filsafsat itu benar benar terasa. Tanpa kita sadari bahw sesungguhnya filsafat itu memang diawali cara berfikir yang baik, tetapi diakhiri dengan kebermanfaatan dalam kehidupan sehari hari. Salah satu yang diungkap oleh Jujun adalah filsafat penerapannya dalam metodologi penelitian.
Keempat, model kajian kefilsafatan yang bagaimana yang relevan dikembangkan pada era ini di Perguruan Tinggi dalam pembelajaran seiring berubahnya aura berpikir dan aroma pengalaman dalam kehidupan praktis.
Ketika awal tahun 1990-an saya ingat Prof Ridwan Lubis pernah menyampaikan dalam forum di Bina Sarjana; saat sekarang memang fakultas Ushuluddin kurang diminati tetapi satu saat nanti tahun 2000-an kita akan menjadi penting.
Awal tahun 2000-an dalam data statistik di beberapa perguruan tinggi agama Islam negeri terjadi penurunan minat dan jumlah mahasiswa di fakultas Ushuluddin, dan sampai ada pembahasan bagaimana kalau fakultas ini ditutup. Seorang guru Besar di UIN Jakarta menyatakan, aras keilmuan itu filsafat dan ini adalah fakultas formalnya di Ushuluddin.
Mengapa Driyarkara, Kanisius, tetap memiliki eksistensi, mungkin karena filsafatnya bukan berhenti di aras awang-awang, tetapi meng-hilir ke kehidupan sehari-hari. Setuju dengan mata kuliah filsafat secara formal tetap diajarkan, tetapi metodologi dan pengemasan harus lebih popular dengan tidak meninggalkan inti dari sejarah.
Hari ini bila filsafat itu identik dengan narasi kognitif, maka sudah disajikan google 24 jam satu hari. Apa yang terbayang oleh kita bila filsafat diajarkan dengan produksi content creator? Hanya orang yang mengerti pendidikan filsafat yang bisa menjelaskan. Intinya antara pendidikan filsafat, filsafat moral, filsafat kehidupan harus menyatu dan saling berkolaborasi dalam perjalanannya. Mungkin ini salah satu makna tafsir dari “the fhilosofi mather of knowledge”.
Mari kita mulai lagi berfikir, bila sampai pada tingkat kebingungan itu sudah satu langkah. “bingung, bimbang, ragu” adalah tempat paling membahayakan, tetapi jembatan emas menuju sebuah kepastian.
Filsafat adalah komunitas orang yang sadar perlunya berpikir. Saya tidak mau berpikir, maka saya bukan kelompok filosof.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.(@mardianto.uinsu.ac.id)