Kurangnya perhatian pemerintah dalam prioritas pembangunan di bidang pendidikan mengakibatkan negara ini menjadi negara yang masyarakatnya kurang menguasai teknologi yang terus berkembang pesat (masyarakatnya bersifat konsumtif saja), yang hanya dapat memakai teknologi yang diciptakan negara lain tanpa dapat menciptakan teknologi asli made in Indonesia. Bahkan yang cukup memprihatinkan hanya dapat memakai barang yang sudah tidak dipakai lagi di negara lain (barang bekas), seperti impor pesawat bekas, bus-bus dan truk-truk serta alat berat lainnya yang second hand. (Syaukani, 2017).
ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi), adalah salah satu jalan bagi seseorang untuk menyelesaikan masalah. Masalah apa saja termasuk masalah pendidikan, di mana untuk mengatasi persoalan anak, strategi pembelajaran, evaluasi bahkan kurikulum dilakukan dengan ATM.
ATM dari mana dari studi banding ke luar negeri, studi semi wisata ke tempat yang lebih mahal untuk dilakukan di tempat dalam negeri, di sekolah sendiri, di tempat yang lebih murah. Maka ATM itu aksi jitu dan praktis, ekonomis, bahkan solutif untuk semua masalah.
Pendidikan itu bernilai universal, artinya semua manusia di muka bumi ini butuh pendidikan, kapanpun dan di manapun. Namun demikian kompleksitas pendidikan dari sejak ideologi, filsafat, praktik, sampai politik pendidikan itu berbeda satu negara dengan lainnya.
Bila kegiatan studi banding atau brandmaking didasarkan pada analisis terhadap inovasi dan defusi secara sistematis, maka tujuan ke luar negeri itu adalah pilihan ketiga, lima tujuh dan seterusnya.
Ideologi pendidikan Indonesia yang diperoleh dari akar budaya, adalah lebih baik bila ditelusuri ke situs sejarah, atau menggali kearifan lokal yang lebih paripurna.
Bila studi banding diformat dengan kegiatan Amati, maka para pelancong pendidikan melakukan pengamatan keberbagai praktik baik di negeri orang lain, dengan ideologi orang lain, dengan kompleksitas masyarakat orang lain.
Sepulangnya ke Indonesia para Pelancong Pendidikan tadi diminta tiru atau mencontoh apakah sepenuhnya, sebagian atau hanya sekadar namanya saja. Perlu anggaran untuk melakukan peniruan ini, karena memang disengaja ada aturan untuk melakukannya.
Akhirnya ini yang paling penting para Pelancong Pendidikan tadi diminta untuk memodifikasi. Apakah sedikit merombak tatanan yang ada selama ini, atau mengadaptasi nilai-nilai pendidikan dari luar untuk dapat diterapkan di negeri sendiri.
Pada praktik modifikasi ini sangat menentukan, apakah nilai yang dari luar baik atau tidak, tetapi ukurannya adalah program dapat berjalan dan masif sampai menggusur nilai sebelumnya.
Dan bukan tidak mungkin menghilangkan nilai kearifan lokal, sungguh inilah budaya yang sulit diterima oleh ideologi pendidikan kita sendiri.
Budaya ATM terus dilestarikan, bukan saja di tingkat nasional, bahkan daerah ikut-ikutan, bahkan sampai di kelas-kelas perguruan tinggi. Seorang dosen memberikan tugas pada mahasiswanya untuk membuat karya orisinal, kecil sederhana, berbasis kearifan lokal, unik bahkan satu-satunya di dunia….., tetapi strateginya ATM, sama saja berarti dosen tersebut bagian dari praktik pendidikan mengakibatkan negara ini menjadi negara yang masyarakatnya kurang menguasai teknologi yang terus berkembang pesat (masyarakatnya bersifat konsumtif saja).
Dr Syaukani dalam tulisan di atas jelas memberi peringatan keras kepada kita bila kita tidak cepat sadar, maka generasi kita adalah yang hanya dapat memakai tekhnologi yang diciptakan negara lain tanpa dapat menciptakan teknologi asli made in Indonesia.
Kita setuju bila generasi muda di Indonesia adalah mereka yang kreatif dan produktif, tetapi budaya ATM bukan jalan terbaik, maka kita sepakat memulainya dari kelas.
Tugas, ujian, atau apapun namanya hasil karya mahasiswa yang penting adalah orisinalitas, bukan sesuai format atau tidak, di sinilah salah satu bagian penting apakah dosen siap mengapresiasi di luar kebiasaan. Tergantung kesadaran akan masa depan pendidikan di Indonesia, hari ini, atau kapan lagi.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.