Seyogyanya muta`allim menyucikan dirinya dari kotoran-kotoran agar ia dapat menerima ilmu, manghafal, dan mengambil manfaat darinya. (Al Nawawy,2011:42).
Ilmu pengetahuan adalah hasil mengetahui yang diformalkan dalam bentuk pernyataan terstruktur. Berasal dari ontologi yang spesifik, diperoleh dengan epistimologi yang obyektif, serta dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup yang universal.
Jadilah ilmu pengetahuan dapat dimiliki oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja selagi kita mau dan mampu mempelajarinya. Karena dalam bentuk formal, maka ilmu pengetahuan bukan hal yang sepele apalagi tidak disengaja, atau kebetulan, semuanya direncanakan, ditata aturan, dan kemudian dikendalikan.
Luasnya alam semesta adalah tak terbatas, dalamnya laut tak terukur, namun manusia membatasi diri mana yang harus dijadikan kajian mana yang tidak. Ilmu pengetahuan menjadikan itu semua adalah lapangan ilmu pengetahuan dengan cara mengukur mana yang dapat dijangkau lewat indra, dibantu intuisi terlebih catatan pengalaman selama ini.
Membatasi diri untuk mengkaji adalah dengan meletakkan dasar mana obyek formal dan mana obyek material dalam ilmu pengetahuan. Sebagai contoh manusia adalah material seperti biologi, anatomi, sampai geneologi yang dapat dikaji menjadi ilmu pengetahuan.
Tetapi pada saat yang sama manusia juga dapat dikaji dari sisi formal seperti kesehatan, ekonomi, psikologi bahkan parapsikologi dan lainnya.
Melangkah dengan tepat, lewat perencanaan yang baik, pembahasan yang matang, serta kejujuran yang dijunjung tinggi adalah azas utama dalam epistimologi mendapatkan ilmu pengetahuan. Hal ini dilakukan bukan saja saat sendiri di laboratorium, tetapi saat studi di lapangan, sampai dalam pengambilan keputusan atau kesimpulan secara konsisten.
Benarkah apa yang telah dilakukan itu untuk kemaslahatan seluruh makhluk hidup manusia di muka bumi? Tergantung seberapa banyak orang dapat mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan tersebut, ketika hanya untuk segelintir orang maka ilmu tersebut akan sarat dengan kepentingan golongan tertentu.
Namun demikian bila tujuan ilmu tersebut adalah untuk kebaikan seluruh alam semesta, mungkin saja belum waktu yang tepat, atau tempat yang tepat untuk menguji dan memanfaatkannya.
Di hadapan kita banyak ilmuwan justru terjerumus dalam kepentingan sesaat, apakah karena perangkap jabatan, atau politik praktis. Memang obyektivitas sulit dipisahkan dengan subyektivitas ketika kita harus memilih untuk mencari jalan terbaik dalam menghadapi kehidupan.
Apalagi masyarakat dengan kompleksitas persoalannya, maka ilmuwan boleh saja memihak pada kepentingan umum, namun azas ilmu pengetahuan selalu menghantui apakah dipertahankan atau tidak.
Sudah banyak bukti sejarah dimana ilmuan tunduk pada kekuasaan, sudah tak terhitung jumlahnya para ahli dimanfaatkan oleh kepentingan birokrasi, klimaksnya banyak perguruan tinggi yang berjalan di tempat bila dilihat karya inovasi.
Ada apa dengan ilmuwan yang ada di perguruan tinggi tersebut? Kembali kepada dasar ilmu itu sendiri, karena ilmu itu akan lahir dari ilmuan yang memiliki integritas antara ontologi, epistimologi dan aksiologi secara konsisten.
Maka benarlah bila An Nawawi mengingatkan bahwa; seyogyanya muta`allim menyucikan dirinya dari kotoran-kotoran agar ia dapat menerima ilmu, manghapal, dan mengambil manfaat darinya.
Kini mari kita mengaca diri, peran ilmuwan sesungguhnya bekerja untuk meneliti alam semesta, kebijaksanaan adalah kompromi terhadap keadaan hari ini, namun prinsip kemaslahatan umat yang lebih luas adalah lebih utama.
Memang lucu atau aneh bila semakin tinggi tingkat pendidikan, justru semakin tidak memiliki kearifan dalam berilmu pengetahuan. Apalagi seorang magister, bahkan doktor kurang beretika dalam meneliti, mengembangkan terlebih mengomunikasikan keahliannya di hadapan orang lain.
Saya tidak setuju dengan pendapat saudara dalam beretika, karena saya sudah doktor, maka sesungguhnya saudara itulah yang doktor belum memiliki etika dalam berpendapat.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.