Personality is a term that comes from the Latin word” persona” which means” mask”, or also from the Latin word” personare” which means to sound through. Meanwhile, in Arabic, personality is called syakhshiyah. In Arabic lexicology, the term nafsiyah is also known which comes from the word nafs; iniyah (aniyah) from the word ana, and the term khuluqiyah or” akhlaq” which is more widely used in classical Islamic literature. These words are similar to the word syakhshiyah, but are unique. Therefore, this research will discuss personality concepts from an Islamic perspective.
Manusia ideal adalah yang memiliki kepribadian yang utuh, kepribadian itu sendiri selalu terkait dengan darimana orang melihat, serta karakteristik kepribadian yang dekat dengan dirinya.
Lantas bagaimana jalan menuju ke sana? Para ahli sekali lagi sesuai dengan bidang masing-masing merumuskan dan menawarkan berbagai cara.
Menurut para ilmuwan, kepribadian dapat dibentuk bila dilakukan lewat pendidikan, rasional karena dapat diterapkan kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Berbeda dengan agamawan, kepribadian adalah satu bukti penghambaan terhadap Tuhan, maka sistematika keyakinan, kepasrahan, teladan dan sedikit ketakutan terhadap ancaman lahirlah secara permanen.
Pendekatan mana yang lebih efektif, masing-masing menawarkan apakah dengan logika, momentum atau otoritas seseorang. Secara akademik pendekatan pertama bahwa kepribadian itu dapat diperoleh siapa saja, dan dapat dibentuk kapan saja, ini menjadi dasar-dasar psikologi.
Psikologi pada dasarnya memandang setiap individu itu berbeda, unik, darinya kita mendapatkan pelajaran bagaimana seseorang tumbuh dan berkembang. Tetapi dengan psikologi pula ilmuwan mampu memberikan bagaimana langkah-langkah efektif membentuk kepribadian.
Bertahun bahkan berabad psikologi menjadi panglima dalam ilmu membentuk kepribadian ini. Sejak prestasi Leipzig Jerman di mana lahirnya psikologi terus memberikan kontribusi yang besar.
Sebagai bukti, varian psikologi terus muncul dari psikologi umum juga psikologi khusus. Dari psikologi khusus lahir psikologi pendidikan, psikologi industri, psikologi kepribadian, bahkan psikologi abnormal.
Lebih dari yang dibayangkan, bahkan ilmu lain terkooptasi oleh psikologi, contohnya psikologi agama. Kajian ini bukan menceritakan ilmu agama yang memiliki cabang psikologi, tetapi psikologi khusus yang membahas tentang bagaimana orang beragama.
Efektifitas pendapat kedua, di mana agama memiliki jalan paling benar, efektif dan pasti, justru memiliki akar sejarah yang kuat. Pengalaman orang melakukan ritual, keberhasilan para ustaz mengatasi kejenuhan dalam beragama, sampai kehadiran para dai di dunia modern, menjadi fenomena sosiologis yang tak terbantahkan.
Setiap individu selalu terikat oleh format agama, kadang ia tidak dibenarkan bergerak di format yang berbeda, ini menjadikan dogma dianggap awal dan akhir dari efektifitas membangun kepribadian.
Langkah dari aqidah, syariat, ibadah dan akhlak sampai kini terus dijadikan obyek formal bagaimana orang mengembangkan kepribadian.
Kita lihat dari sejak SD, Sekolah Lanjutan, sampai perguruan tinggi empat bidang ini sepertinya belum banyak perubahan yang berarti, walau generasi Z di sekolah berubah cara berpikir dan mendapatkan ilmu pengetahuan.
Apa yang terjadi hari ini, dunia terus berubah, masyarakat mengalami zaman yang menyulitkan apakah akademisi harus sendiri mempertahankan langkah membangun kepribadian atau harus bagaimana.
Seorang Prof Abdul Mujib dari UIN Syahid Jakarta, setelah membolak-balik berbagai literatur merasa gundah, beliau menyatakan bahwa; Kepribadian merupakan suatu istilah yang berasal dari kata latin “persona” yang berarti “topeng”, atau juga dari kata latin “personare” yang berarti bersuara.
Hal ini membuktikan bahwa kepribadian tidak selamanya dapat diilmiahkan atau 100 persen logika. Dilanjutkan lagi bahwa; sedangkan dalam bahasa Arab kepribadian disebut syakhshiyah.
Dalam leksikologi Arab dikenal pula istilah nafsiyah yang berasal dari kata nafs; iniyah (aniyah) dari kata ana, dan istilah khuluqiyah atau “akhlaq” yang lebih banyak digunakan dalam literatur Islam klasik.
Kata-kata ini mirip dengan kata syakhshiyah, namun unik. Sungguh sekali lagi kepribadian itu memang unik, tidak cukup satu satu pendekatan untuk menelusurinya, apalagi membuat kesimpulan untuk sebuah ilmu pengetahuan.
Apalah mempertahankan pendekatan klasik untuk generasi modern, padahal kita tidak sadar pendekatan modern telah mengklaim itu paling efektif untuk menampilkan, membenarkan sejarah, sepertinya tidak seimbang.
Sekali lagi Prof Abdul Mujib tampak tidak memberikan klaim bahwa untuk membangun kepribadian adalah otoritas dari satu disiplin ilmu pengetahuan secara akademis, tetapi multi, trans, atau bahkan kolaborasi yang produktif terhadap kajian ini.
Ini adalah otoritas beliau yang memiliki pengalaman akademik belajar di dua fakultas yang berbeda yakni ilmu agama dan ilmu umum. Dan dapat dicontoh oleh semua orang untuk melakukan, dan mendapatkannya.
Catatan kita, bila fenomena masyarakat menginginkan bagiamana individu dengan kepribadian ideal dapat dilahirkan, maka awalilah dengan redefinisi kepribadian yang dapat diterima oleh banyak orang.
Langkah ini lebih efektif dengan tidak menonjolkan apalagi mengabaikan ilmu-ilmu lain. Bukankah dalam Islam keteladanan adalah hal paling efektif dalam menyampaikan satu pengetahuan?
Kita harus tahu bahwa keteladanan adalah proses menguniversalkan keunikan individu secara ilmiah lewat pendidikan. Sampai hari ini jalan paling efektif membangun kepribadian adalah keteladanan, tidak ada yang berani membantah, walaupun lewat penelitian skema BOPTN, internasional, dunia akhir sekalipun.
Kita setuju dengan kolaborasi kita membangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi.