Our findings confirm the multidimensionality of classroom incivility (class disruption, disrespectful communication, integrity violation, and use of the cell phone). In addition, all sub-scales of classroom incivility were negatively related to civility and prosocial behavior, and no significant difference was found between male and female students. Higher education institutions in Indonesia can use this instrument as a supplementary tool to evaluate the level of classroom incivility. We also discuss its practical implications in educational settings in general and offer suggestions for future research on classroom incivility in non-Western countries. (Aspiati, 2022).
Pendidikan hari ini mengalami kemajuan intelektual yang sangat pesat, tetapi juga diiringi oleh kekhawatiran yang mendalam tentang akhlak dan sopan santun.
Lantas apakah intelektual selalu bertolakbelakang dengan akhlak dan sopan santun? Banyak hal tanggapan para ahli tentang hal ini.
Dari penelitian, pengalaman sampai rekomendasi forum-forum ilmiah selalu memberi penjelasan nyata, dan memberikan solusi agar menjadi alternatif pendidikan di masa depan. Hasilnya keduanya perlu untuk anak di masa depan.
Di tengah-tengah masyarakat kita banyak menghadapi bagaimana orang lain berinteraksi dengan lainnya, apakah dalam bentuk pekerjaan formal, hubungan sosial bertetangga, atau komunitas yang memiliki irisan kepentingan saja seperti silaturahmi, atau organisasi.
Praktik individu yang menampilkan keberhasilan intelektual kadang menonjol dan ditampakkan menjadi tokoh, pelopor, penda`i dan lain sebagainya. Apakah keberhasilan sorang tokoh, pelopor, penda`i sertamerta menampilkan akhlak dan sopan santun? Masih perlu diperbincangkan lebih jauh.
Namun sebaliknya orang yang memiliki akhlak tinggi dan sopan santun dalam interaksi, mereka sebagian mendapat tempat terhormat di tengah-tengah masyarakat, bahkan secara permanen menjadi teladan.
Pada kelompok sosial formal seperti partai politik, dunia kerja, dan organisasi interaksi antar anggotanya diatur sedemikian rupa, hal ini menjadi aturan resmi atau etika yang diberi nama kode etik. Tidak sembarangan seorang anggota partai politik menyampaikan sesuatu kepada pimpinannya, mungkin perlu di forum rapat yang terjadwal dan lain sebagainya.
Begitu juga di dunia kerja, antara pimpinan dan bawahan harus ada aturan bahkan untuk bertemu sekalipun perlu disusun SOP dan segala macam turunannya. Apalagi organisasi, memberi bantuan untuk yang sakit atau tidak pun bahkan sampai diputuskan dengan adu logika, bahkan adu otot di forum rapat tahunan.
Lantas apakah tingkat kepedulian pemilik komunitas formal di atas menjadi alasan mereka diikuti dan dipatuhi, jawabannya lebih kepada aturan yang menjadi dasar mengapa seorang bawahan harus mematuhi segala aturan.
Akhlak dan sopan santun ada di mana? bisa saja melekat pada atasan, bos perusahaan, atau ketua partai, tetapi juga akhlak dan sopan santun kadang dipaksa harus ditampilkan oleh seluruh bawahan, termasuk seluruh anggota dan yang masih ingin bersamanya.
Berbeda halnya dengan di sekolah, akhlak dan sopan santun selalu dijadikan dasar itulah bagian utama dari ruh pendidikan. Diusung menjadi visi, misi dan tujuan, kemudian disuasanakan dalam kehidupan lingkungan sekolah, dari sejak anak masuk pintu gerbang, kemudian di kelas, sampai ia pulang ke rumah.
Akhlak dan sopan santun satu sisi ada yang dipaksakan lewat mata pelajaran, atau dengan berbagai slogan dan aturan, tetapi pimpinan kelas atau guru dialah aktor utamanya.
Dalam pendidikan tidak ada media paling efektif kecuali guru itu sendiri, dan tidak ada strategi paling jitu kecuali suri tauladan. Maka akhlak dan kesopanan di dalam kelas-kelas sekolah kita sangat besar dipengaruhi oleh siapa guru di dalamnya, dan bagaimana kita mempersepsi guru sebagai pendidik yang kita mempercayakan anak dididik selama beberapa saat bersamanya.
Prof Hj Aspiati, dengan penelitiannya membuktikan bahwa; multidimensi ketidaksopanan di kelas (gangguan kelas, komunikasi yang tidak sopan, pelanggaran integritas, dan penggunaan telepon seluler).
Selain itu, semua sub-skala ketidaksopanan di kelas berhubungan negatif dengan kesopanan dan perilaku prososial, dan tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara siswa laki-laki dan perempuan.
Apakah ini hasil, proses atau awal dari persoalan pendidikan akhlak dan sopan santun? Untuk itu, kita benar-benar disadarkan oleh Prof Aspiati sekali lagi bahwa apresiasi, dan penghargaan kita terhadap guru 10 dan 20 tahun sebelumnya itulah yang menjadi integritas guru di kelas hari ini.
Lantas apakah ini harus kita biarkan sampai kapan?. Beliau menegaskan bahwa segera untuk memulai lewat; Institusi pendidikan tinggi di Indonesia dapat menggunakan instrumen ini sebagai alat pelengkap untuk mengevaluasi tingkat ketidaksopanan di kelas.
Kami juga membahas implikasi praktisnya dalam lingkungan pendidikan secara umum dan menawarkan saran untuk penelitian masa depan mengenai ketidaksopanan kelas di negara-negara non-Barat.
“Anda sopan kami segan”, quote tahun 1980-an itu entah dari mana tapi ada di mana mana, mungkin guru tahun 1970-an memang memiliki integritas yang baik.
Kita hari ini sedang mempersiapkan guru tahun 2025, lantas sekarang sedang menunggu apa yang dihasilkan oleh guru di kelas untuk murid yang akan hidup di tahun 2045.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.