Kota yang memiliki landasan tauhid adalah kota yang steril dari berbagai sarana maksiat, seperti; sarana perjudian, prostitusi, minuman keras dan sebagainya yang melahirkan disharmoni warga kota tersebut. Jika, ini diwujudkan, maka kota yang berlandasan nilai-nilai tauhid akan melahirkan warga kota yang memiliki nilai-nilai kesalehan individu dan kesalehan sosial sekaligus, yang pada akhirnya, menciptakan keharmonisan, kedamaian dan ketentraman warga kota. (Sukiman, 2017:224).
Bagaimana menciptakan warga kota yang hidup harmonis, damai dalam pergaulan, tenteram sebagai tempat tinggal. Ini bukanlah ideal, apalagi utopia, dan bukan sekadar angan-angan pada jargon kehidupan kota. Mungkin, dan pasti bisa dilakukan.
Lantas siapa yang akan melakukan, bagaimana cara melakukan, kapan diprogramkan, apa masalah yang akan kita hadapi, banyak lagi pertanyaan bila kita menginginkan satu harapan.
Setiap kota memiliki sejarah panjang, historical memberi bayangan apa muasal kota yang selalu dijaga dan dipelihara bahkan cagar budaya selalu membayangi apapun yang akan dilakukan.
Penduduk kota kini sedikit yang mengerti, memahami bahkan mungkin mereka sebagian besar sudah tidak peduli dengan sejarah kota, kecuali yang tersisa adalah bangunan tua. Apa yang kita diskusikan pemerhati sejarah mengerucut menyudut pada komunitas kecil apakah di kota tua, atau komunitas pencinta warisan.
Sebagai sebuah kota tumbuh dan berkembang dari adaptasi terhadap modernitas, utamanya kehadiran manusia dari berbagai sudut negeri. Apakah sekadar persinggahan atau menetap menjadi alasan adanya kenyamanan untuk menikmati hari tua.
Banyak orang, ragam pula perangai dan kebutuhan, dan semakin komplekslah persoalan, dan ini pasti dihadapi siapapun yang ada di sisi kota. Yang bertahan biasanya ada di tengah kota mengawal kantor wali kota sebagai pusat kekuasaan, yang sedikit lemah terpinggirkan bahkan mungkin siap-siap keluar kota.
Kota di abad modern memiliki lanskap yang sungguh futuristik, sampai-sampai makhluk hari ini sulit memaknai setiap icon yang dibangun. Dengan alasan generasi yang lebih milenial, atau ketinggalan dengan dunia kota di luar sana karena baru pulang studi banding, yang baik di negeri orang belum tentu nyaman di negeri sendiri.
Bung Hatta pernah berkata; kalau kita terlalu memikirkan masa depan, maka kita akan kehilangan masa kini.
Prof Sukiman seorang pakar tata kota memberikan solusi terhadap ketiga masalah di atas, membangun kota harus memperhatikan landasan nilai-nilai tauhid akan melahirkan warga kota.
Ini sangat penting dimana kota yang memiliki nilai-nilai kesalehan individu dan kesalehan sosial sekaligus, yang pada akhirnya, menciptakan keharmonisan, kedamaian dan ketentraman warga kota.
Hari ini ada kota yang sudah ratusan tahun berdiri ada pula yang baru tumbuh dan berkembang ada pula yang baru lahir menjadi kota. Bukan pada usia untuk membangun kota religius, tetapi strateginya pada kesadaran untuk melakukan perencanaan tata ruang yang tiap tahun dapat dimusrenbangkan.
Keberanian evaluasi terhadap masalah yang dihadapi seperti; sarana perjudian, prostitusi, minuman keras dan sebagainya yang melahirkan disharmoni warga kota tersebut.
Sayang kalau kepakaran Prof Sukiman berhenti pada hipotesis, buktinya kota di Malaysia dan negara lainnya adalah fakta tak terbantahkan dalam disertasi belau puluhan tahun lalu.
Kini lebih dari itu kesadaran telah muncul dari berbagai sudut atau lini pembangunan kota, apakah lewat media untuk memberikan masukan terhadap pembangunan kota, lewat seminar, atau bahkan lewat quote sekalipun pasti bermanfaat.
Benar salah satu indikator kenyamanan kota adalah kebebasan para pakarnya menyampaikan pesan, apalagi didengar dan dijadikan landasan perencanaan pembangunan.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.