”Melaksanakan tugas dan tanggung jawab terutama memperjuangkan hak-hak masyarakat yang dizolimi secara tuntas adalah ibadah kepada Allah Subhanahu Wataa'la”. (Syafi`i, 2024).
Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Tepatlah hadits nabi ini untuk memberi penguatan apa yang ditulis oleh Raden Muhammad Syafi`i di atas, apa alasan paling tidak tiga hal dapat kita tuliskan yakni;
a. Kebebasan individu
Individu lahir dan dibesarkan memiliki kemampuan untuk dapat mengenali dirinya sendiri, mengembangkan bakat dan kemampuannya, serta memberdayakan seluruh potensi yang ada pada dirinya, juga alam sekitar dan bahkan orang-orang disekitarnya. Individu yang menonjol memiliki kelebihan biasanya ia akan melakukan banyak hal yang tidak dilakukan orang lain, atau justru kelemahan orang lain akan menjadi peluang bagi dirinya untuk memperdaya atau memberdayakan.
Begitulah kebebasan individu dengan ilmu yang dimiliki ia seakan memiliki hak prorogatif apa saja yang akan dilakukan, kemana saja ia akan pergi, bahkan siapa saja yang akan dikendalikan. Begitu juga biasanya individu dengan keterampilannya ia memiliki keahlian untuk dapat dijadikan bagian dari upaya memberdayakan diri dan orang lain.
b. Kewajiban sosial
Naluri individu untuk mengembangkan diri itu sudah pasti, ketika ia menghadapi lingkungan yang mungkin untuk ditaklukkan maka ia akan semakin egois. Pada bagian lain ada pula justru individu mempelajari dan memahami di mana lingkungan memerlukan dirinya maka ini adalah sesuatu tantangan. Bukan hasrat untuk memperdaya tetapi lebih kepada membantu, memberi, melayani dan itulah memberdayakan. Kewajiban sosial yang menjadi bagian dari upaya menyempurnakan tugas individu muncul ke permukaan ketika berinteraksi dengan orang lain. Sekali lagi kumpulan orang lain atau sosial pastilah mengalami banyak hal, bila itu dilihat sebagai sebuah ladang amal untuk membantunya harus segera dibatasi yakni memberdayakannya, bukan membuat orang lain untuk selalu tergantung pada dirinya.
c. Kelengkapan takwa
Satu hal yang salah, dilakukan dengan cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki, tetapi justru akan membahayakan. Bila kita salah memahami kemampuan diri kita, mungkin saja kita juga akan salah mengembangkannya, ini akan menjadi bahaya pada diri kita. Bukankah kita akan menuju kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain secara bersama?
Ukuran keberhasilan individu harus diukur dari kemampuan bersama berinteraksi, berkomunikasi dan bersama dengan orang lain.
Nilai takwa akan diberikan kepada individu yang mampu membantu dirinya dan memberdayakan orang lain. Dan pada tingkat yang paling tinggi adalah memberi jalan keluar apabila orang lain mendapat masalah, apalagi dizalimi.
Sampai pada ketiga tingkatan di atas, maka beriman akan meningkat kualitasnya menjadi takwa, betapa tidak karena individu telah menjadikan orang lain bagian dari dirinya.
Memberikan layanan, membela hak-hak secara bersama karena merasa ini adalah tanggung jawab merupakan sebuah titik puncak dari nilai individu menuju kesempurnaan.
Tidak ada lagi yang salah dalam persepsi, tidak ada lagi yang khilaf dalam pelaksanaan, apalagi terjebak dalam berbagai aturan, maka individu inilah yang menurut R Muhammad Syafi`i sebagai sebuah tugas yang bernilai ibadah.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.