In the principles of Islamic law, whatever is permissible by Allah to have it, then halal is used as an object of trade. Likewise all forms which are forbidden to have it are forbidden to be traded. But in Islam in principle the item is lawful, but because the attitudes and actions of the perpetrators are contrary to the shari’ah, the goods from the critical side turn into haram.(Sahmiar Pulungan, 2019).
Dalam kehidupan sehari-hari kita membutuhkan sesuatu, dengan itu pula kita berusaha mendapatkannya, disisi yang berbeda saudara kita tidak memerlukan apa yang dimilikinya dan ia ingin memberikan pada orang lain.
Cara mendapatkan dan cara memberikan bertemu dalam satu kegiatan yang disepakati yakni jual beli kemudian berkembang menjadi perdagangan.
Salah satu yang lahir dari proses ini adalah ilmu ekonomi dengan tujuan untuk memberikan penjelasan bagaimana cara mendapatkan dan bagaimana pula cara memberikan secara adil.
Ketika terjadi ketimpangan antara pihak yang ingin mendapatkan dengan yang berhasrat memberikan, maka timbul permasalahan. Ketimpangan ini disebabkan banyak hal, bahkan dari soal stok, logistik, sampai politik perdagangan. Jauh dalam pandangan konvensional ternyata Islam telah memberikan panduan terkait dengan hal di atas.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sahmiar Pulungan bahwa Monopoli dalam muamalat berarti al-Ihtikar, secara etimologi adalah tindakan menimbun, mengumpulkan (barang) atau tempat untuk menimbun. Ulama memiliki perspektif yang berbeda tentang penimbunan benda.
Mazhab Syafi’i dan al-Gazali berpendapat bahwa penimbunan hanya ditemukan pada materi primer menurut Mahzab Hanafi yang ditemukan oleh dan pendapat lain ihtikar berlaku umum, yaitu menimbun semua barang kebutuhan manusia, baik primer maupun sekunder, yang menjadi ‘illat bagi mazhab ini adalah kemewahan yang menimpa banyak orang, meliputi semua produk yang dibutuhkan orang secara keseluruhan.
Dalam hal inilah maka Sahmiar menemukan satu hal yang menjadi dasar bagaimana menyikapi persoalan monopoli dalam perdagangan, menurut beliau bahwa; dalam prinsip hukum Islam, apa pun yang dihalalkan oleh Allah untuk memilikinya, maka halal digunakan sebagai objek perdagangan.
Demikian juga semua bentuk yang dilarang untuk memilikinya dilarang untuk diperdagangkan. Namun dalam Islam pada prinsipnya barang itu halal, tetapi karena sikap dan tindakan pelakunya bertentangan dengan syari’at, barang dari sisi kritis berubah menjadi haram.
Dalam tulisan ini, metode kualitatif digunakan. Untuk menghindari terjadinya monopoli dalam masyarakat maka diperlukan peran pemerintah untuk menghindari terjadinya praktik monopoli.
Penelitian yang dilakukan oleh Sahmiar menemukan bahwa dalam monopoli, pelaku usaha (penimbunan barang) menjual barang atau jasa dengan harga tinggi, sementara orang lain sangat membutuhkannya merupakan tindakan dosa.
Dalam pandangan ekonomi Islam, terdapat larangan bagi produsen untuk memanipulasi pasokan, baik dengan menimbun barang atau jasa dengan menciptakan masalah kelangkaan, demi mendapatkan keuntungan lebih tinggi melalui harga yang lebih tinggi. Inilah salah satu yanga harus dijadikan dasar bagaimana kita bertransaksi untuk melindungi semua pihak yang terlibat.
Tetapi ada catatan penting dari Sahmiar terkait hal di atas, menurut beliau bahwa dalam hal ini, monopoli diperbolehkan dalam Islam, tetapi keuntungan dari monopoli dilarang.
Namun, menimbun barang untuk kepentingan masyarakat dalam konteks persiapan menghadapi musim paceklik mungkin tidak dianggap dosa. Islam mengajarkan untuk saling tolong-menolong tidak merugikan satu sama lain demi kepentingan diri sendiri.
Sungguh bila prinsip di atas dapat dijalankan dan dipatuhi sebagai bagian dari etika dalam perdagangan, mungkin semua pihak mendapat keadilan dan transaksi perdagangan pun mendapat keberkahan.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.


















