Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Laho hita marsarak, marsipaingot dope au, ulang lupa paingot danak, manjalaki bisuk napeto. (Willem Iskander, 1840-1876).
Hidup ini pasti berawal dan pasti berakhir, saat ini pasti ada kemarin dan ada yang akan datang, begitulah saat kita akan melepas keadaan maka tidak ada yang perlu ditangisi, apalagi disesali, karena hidup adalah siklus. Sekali kita setuju ada dalam hidup, maka kesetujuan kita melengkapi kerelaan akan apapun yang menjadi konsekuensinya termasuk satu saat kita tidak hidup.
Willem Iskander berpesan kepada kita untuk mengingatkan anak, agar selalu mencari kebenaran, karena memang kebenaran itu sudah ada di atas dunia ini tersaji dalam kehidupan, dilalui dalam perjalanan, dinikmati bagi yang telah mendapatkan. Hidup yang berjarak, berwaktu dan berada, maka harus digunakan untuk mencari kebenaran.
Artinya awalilah hidup itu dengan benar, lakukanlah dengan benar, dan akhiri dengan cara yang benar. Sungguh apakah ini refleksi dari kehidupan seorang Willem Iskandar atau tidak yang pasti setiap orang berhak memaknai arti kebenaran dan kehidupan sesuai dengan persepsi, pengalaman dan harapannya.
Kita setuju bahwa persepsi dapat saja terbentuk karena keadaan di sekeliling kita, dan pengalaman tercipta karena perjalanan kehidupan yang dilalui selama ini, dan harapan paling tidak agar hal tersebut dapat atau terjadi berulang pada diri sendiri, atau orang lain.
Persepsi kita tentang kebenaran adalah hal yang harus dicari lewat pendidikan, belajar tentang kehidupan, maka sekolah adalah hal utama apa pun ceritanya. Anak yang akan kita tinggalkan tidak ada yang paling berharga kecuali sekolah yang dapat dilakukan. Karena siapapun berhak untuk sekolah, dan sekolah apa pun berkewajiban menerima anak siapa saja.
Pengalaman tentang bersekolah tidak akan berhenti dan habis ditelan masa, karena hasil dari sekolah menyatu dan melekat dalam kehidupan kita. Untuk mencari kebenaran, maka bukan sebuah ijazah setelah sekolah, tetapi justru di tengah kegiatan belajar itulah didapatkan, seperti tentang kejujuran, kesadaran, kehormatan, harga diri, kebersamaan dan lain sebagainya. Kurikulum sekolah bukan hanya diciptakan untuk kebenaran, tetapi kebenaran yang ada pada anak justru harus diakomodir oleh kurikulum sekolah.
Harapan seseorang tentu dapat terjadi untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain. Kita mesti memiliki harapan, karena dengan itu pekerjaan akan dilanjutkan, apalagi kebenaran pasti akan ditemukan, baik cepat maupun lebih cepat dari yang diperhitungkan. Harapan selalu tertuju pada generasi penerus, paling tidak harapan pada anak kita sendiri, kemudian anak didik, dan anak muda generasi bangsa. Memberikan catatan bahwa kebenaran itu penting untuk menjadi bekal tentang masa depan ternyata bukan sekadar harapan, tetapi itulah hakikat dari tujuan pendidikan.
Akhirnya benar kegelisahan seorang Willem dituliskan sebelum ia meninggal yakni; Saat kita akan berpisah, Aku berpesan kepadamu, Jangan lupa mengingatkan anak, Agar selalu mencari kebenaran.
Pendidik inspiratif menyadari bahwa ada saat berpisah dengan muridnya, tetapi ia harus memperisapkan pesan tentang arti kehidupan. Anak tak mesti mengingat guru setelah berpisah, tetapi pesan tentang mencari kebenaran dalam kehidupan itu yang lebih utama. Tak mengapa ada istilah hari guru, tetapi jangan berlebihan dalam memperingati yang justru menghilangkan makna hakiki pendidikan tentang kebenaran.
Selamat hari guru semoga semua guru guru kita sehat, dan kita mendapat keberkahan darinya. Amin.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.