The issue of election officials to occupy a strategic position became the deep concern. It is common knowledge that if you want to become officers must spend some money, ethnicity, and proximity (“isms”). To avoid this, the solutions offered are software engineering (RPL / software engineering) with the help of computer-based information systems as decision support direct election of the method of AHP (Analytic Hierarchy Process). AHP method was applied to computer-based systems in particular to determine the official candidates who will occupy strategic positions in an organization. Election officials have to determine some criteria. The criteria are organized in a matrix form in pairs will then be tested for consistency using the formula n max . End result of the overall priority (global) ratings so you will know (rank) of each candidate's. (Yafizham, 2016).
Hidup ini adalah pilihan, mau bekerja atau tidak bekerja, mau bekerja menjadi pejabat atau tidak menjabat, mau menjadi penjahat atau tidak menjadi apa-apa diam di rumah, semua adalah pilihan.
Tetapi kita ingat setiap pilihan pasti ada konsekuensi atau akibat dari keputusan kita memilih dari alternatif kehidupan itu. Namun pertanyaan yang jarang dimunculkan adalah bagaimana kita dapat memilih agar sesuai dengan “…….”.
Beberapa waktu terakhir kita disibukkan dengan pejabat pemilu, dari Komisi Pemilihan Umum di mana Komisioner tingkat pusat sampai Tempat Pemilihan Suara atau TPS, apakah kita termasuk didalamnya, itu juga sebuah pilihan.
Penelitian yang dilakukan oleh seorang Yafizham pada 2016 lalu, di mana persoalan pejabat pemilu yang menempati posisi strategis menjadi perhatian yang mendalam. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin menjadi perwira harus mengeluarkan sejumlah uang, suku, dan kedekatan (“isme”).
Kita setuju atau tidak dengan pernyataan awal dari penelitian tersebut, itu juga pilihan, dan pilihan kita sudah mulai dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, posisi, atau satu hal yang akan kita jalani.
Lanjutan dari pernyataan Yafizham, bahwa; untuk menghindari hal tersebut maka solusi yang ditawarkan adalah rekayasa perangkat lunak (RPL/software engineering) dengan bantuan sistem informasi berbasis komputer sebagai pendukung keputusan pemilihan langsung dengan metode AHP (Analytic Hierarchy Process).
Pilihan hidup ternyata bukan sekadar pengetahuan tentang pekerjaan, hobi, politik, tetapi lebih dari itu merambah ke manajemen, pengambilan keputusan, sampai pada ilmu komputer.
Mengapa demikian? Karena pendekatan multidisiplin dalam memecahkan masalah kehidupan itu paradigma yang sedang in, sungguh memang kolaborasi pada berbagai profesi itu lebih penting.
Kemudian Yafizham meneruskan penjelasannya sebagai ahli dalam bidang komputer analisis, menurut beliau, metode AHP diterapkan pada sistem berbasis komputer khususnya untuk menentukan calon pejabat yang akan menduduki posisi strategis dalam suatu organisasi.
Petugas pemilu harus menentukan beberapa kriteria. Kriteria-kriteria tersebut disusun dalam bentuk matriks berpasangan yang selanjutnya akan diuji konsistensinya dengan menggunakan rumus.
Itulah analisis tiga disiplin ilmu antara ilmu komputer, manajemen keputusan, serta politik jabatan. Kini tinggal kita mau memutuskan apakah ingin menerima pendapat ini atau tidak, perspektif keilmuan masing-masing menjadi lahan untuk menguji.
Bagi kita yang konsisten dengan ilmu murni tentulah sedikit terganggu, karena ada kata rekayasa dalam proses pengambilan keputusan.
Kesan kata rekayasa memang tidaklah selamanya berkonotasi manipulasi, tetapi ada andil atau kekayaan kita membuat pilihan-pilihan dari plowcat perjalanan keputusan.
Namun inilah yang terakhir dari kesimpulan penelitian Yafizham, bahwa; hasil akhir dari peringkat prioritas keseluruhan (global) sehingga Anda akan mengetahui (peringkat) masing-masing kandidat.
Tinggal kita sendiri bagaimana menjadikan perangkat komputer sebagai disiplin ilmu untuk berkolaborasi membangun peradaban yang lebih baik, atau kita jadikan rekayasa untuk memanipulasi sebuah keputusan singkat.
Sungguh ilmu itu benar-benar bebas dari nilai, dan disanalah batas ontologi, dan epistimologi. Ketika aksiologi kita harus dihadapkan pada kenyataan apa yang sedang terjadi, dan mungkin terjadi bila keputusan itu kita tetapkan.
Mengapa dalam kehidupan ini harus ada pemilihan ya…… dan mengapa pula kita harus memilih. Setiap manusia yang ingin hidup memang harus memilih itu benar, yang salah adalah setiap saya harus dipilih. Saya tidak mau memilih maka saya bukan manusia.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.