Pak Marmuj seperti biasa setelah salat Subuh, duduk-duduk santai di depan masjid bersama rekan sebaya, sambil cerita musim hujan, sampai pemilihan kepala daerah. Dan mereka setuju tidak ada kesimpulan dari cerita mereka, apalagi kesepakatan, komitmen, yang ada semua cerita lepas.
Sampailah pembicaraan tentang kisah cucu mereka. Pak Marmuj memulai cerita, bahwa hidup ini memang lebih lengkap bila kita punya anak, dan sempurna bila ada sejumlah cucu dari anak kita.
Cerita cucu pun terjadi.
Pak Marmuj; bagaimana kabar seingat saya kita sama-sama punya cucu ya, tapi mungkin beda ada yang cucunya tinggal di rumah kakeknya, ada yang jauh dan mungkin saja jarang jumpa.
Pak Mardu; Yayayayayaya.
Pak Marmuj: bapak bagaimana cucunya sudah lahir kan?
Pak Marsa: Cucu saya satu dan bernama Eka Mardana.
Pak Marmuj; siapa yang memberi namanya pak?
Pak Marsa; Itu yang memberi nama saya, karena dia cucu pertama dari anak pertama kami.
Pak Marmuj; lah…dapat nama Mardana dari mana pak?
Pak Marsa; Itu gabungan dari ayah dan mamaknya, ayahnya kan bernama Margolang dan ibunya Aminah, jadi digabung jadi Mardana.
Pak Marmuj; hemmmemmem……. kalau bapak, nama cucunya siapa?
Pak Mardu; Kalau cucu saya diberi nama Wahida Mardini.
Pak Marmuj; hah…. mirip seperti kembar pula ini.
Pak Mardu; Bukan memang ini cucu kami yang pertama dan perempuan, maka namanya kami beri usulkan wahid kan artinya satu pak, karena perempuan maka wahidah.
Pak Marmuj; Oh….. yayayaya.. lantas kalau Mardini nya dari mana pula itu?
Pak Mardu; Mardini itu dari waktu lahirnya pak kan dia lahir bulan Maret dini hari.
Pak Marmuj; Hahahahahha…..kalau lahir waktu tengah malam mungkin namanya Martelam kali ya…
Pak Marmuj; ya kalau bapak cucu siapa namanya?
Pak Marti; Cucu saya bernama Asuma
Pak Marmuj; iiiii ni gawat ini, apa pula pak itu artinya.
Pak Marti; Ialah pak cucu saya ini kan asli Melayu, dan dia anak pertama maka namanya Asuma. Nama ini singkatan dari Anak Sulung Melayu.
Pak Marmuj; -72962hj[h8y4[h562t2b'3qygn
Hem…saya jadi teringat, nama seorang tokoh dalam sejarah Islam Ibn Khaldun rupanya itu bukan nama aslinya, tetapi nama leluhurnya.
Pak Marsa, Pak Mardu dan Pak Marti kompak merespon; siapa itu pak?
Pak Marmuj; nama Abdurahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin bin Abdurahman bin Ibnu Khaldun, yang dikenal sebagai “Ibnu Khaldun”, lahir di Tunisia pada tahun 1332 M (732 H).
Ah…. apalah arti sebuah nama…..
Seperti biasa salah seorang di antara rekan Pak Marmuj membuka telepon selulernya menunjukkan bahwa persoalan nama itu penting karena ada Undang Undangnya;
Nama anak adalah hak anak yang dilindungi dan dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 53 ayat (2) disebutkan, “Setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.”
Sementara Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), Pasal 5, berbunyi “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.”
Pak Marmuj; wah nama saja ada Undang-Undangnya ya, berarti nama kita juga sudah dilindungi oleh Undang-Undang siapa saja yang menggunakan nama kita kalau ada yang sama harus minta izin.
Rekan Pak Marmuj; hahahahha, ada-ada saja Pak Marmuj ini…ayo kita sarapan.
Pak Marmuj; nah….kalau sarapan tak perlu minta izin.
Pak Marmuj memanglah……
Sekian.
Tiga hal hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah:
Pertama; setiap manusia akan dikenal dengan penyematan namanya, maka berilah nama yang dapat menjadi pengenal mewakili identitas seseorang.
Kedua; nama sebaiknya dilengkapi panggilan, karena dengan nama yang tercatat dan panggilan yang tersebut adalah doa yang selalu terucap setiap kali dilakukan.
Ketiga; siapa yang paling berhak memberi nama? Tentu siapa saja yang utama adalah orang tuanya, karena ia yang memiliki tanggung jawab terhadap perwalian biologis atau nasab anaknya.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita mencari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari berbagai sumber.