Oleh Prof Mardianto
Satu ketika di tengah hutan hiduplah seekor Mamak Singa yang sudah tua dan dua ekor anaknya yakni Kakak Singa dan Adik Singa.
Menjelang makan malam Mamak Singa berkata:
“Mamak ini sudah tua, tak lama lagi akan mati dan meninggalkan kalian berdua,
emak berpesan kepada kalian, hiduplah saling membantu, menolong dan ingat dengan saudara”.
Duduk bersama bertiga semakin merapat, sepertinya makan malam ini adalah malam terakhir untuk kebersamaan sebuah keluarga kecil. Mamak Singa memulai dengan diam sejenak, niat mensyukuri nikmat makan malam dimulai.
Usai makan Mamak Singa melanjutkan petuahnya seraya berkata:
“Memang benar kita ini adalah raja, raja segala raja di hutan rimba raya ini. Kita dapat makan apa saja, kita dapat kemana saja, kita dapat melakukan apapun yang kita mau.
Tetapi kita harus waspada kepada satu makhluk yang bernama “manusia”.
Kakak Singa menyela:
“memangnya manusia itu apa sih kelebihannya mak?”
Mamak Singa menjawab:
Memang kita punya empat kaki seperti hewan lainnya, bisa lari lebih cepat dari seluruh hewan, tetapi kita harus ketahui bahwa Manusia hanya punya dua kaki mereka bisa berdiri, berjalan bahkan berlari”.
Kakak Singa penasaran terus bertanya:
“Hanya itu mak”.
Mamak Singa sekali lagi menjelaskan:
“Kita dengan manusia itu sama punya kepala, punya otak untuk berfikir, punya hati untuk merasa, tetapi bedanya kita hanya mampu berfikir sementara manusia dapat berfikir, punya fikiran, punya hati merasa dan punya perasaan, kemudian mereka sekolah tumbuh dan berkembang sehingga dia punya yang kita tidak punya”.
Adik Singa seperti tak sabar bertanya;
“Apa yang mereka punya itu mak?”
Mamak Singa menjelaskan dengan tegas
“akal”
Susana malam terus berlarut, hening dan ketiganya tertidur pulas di tengah hutan.
Sampailah di pagi hari Kakak Singa dan Adik Singa bangun dan bermain sesekali berebut lahan, lalu berteman lagi. Namun mereka tidak mendapati Mamak Singa, ternyata telah pergi dan mati.
Anak Singa berjalan bersama, sampailah di simpang Adik Singa ingin kekiri ke lembah mencari makan di batas desa, sementara Kakak Singa ingin ke kanan arah gunung ingin mencari mangsa.
Terus turun ke lereng sampailah di batas desa Adik Singa jumpa seorang berbaju putih tak lain tak bukan adalah Pak Marmuj guru tinggal di pinggir kampung. Tak ada arah angin, tetapi langsung mengejarnya, dan menyiapkan terkaman terbaik sebagai Singa si raja hutan. Namun saat hendak menggigit leher manusia, Adik Singa teringat pesan mamaknya bahwa manusia mempunyai kelebihan.
Adik singa berkata;
“Apakah engkau manusia?”
Pak Marmuj sambil gemetar pucat pasih berkata:
“Ya saya manusia”
Adik Singa melanjutkan pertanyaan:
“Aku penasaran dengan pesan mamak kami bahwa kalian manusia memiliki akal apakah itu benar?”
Pak Marmuj berkata:
“Ya kami memiliki akal”
Adik Singa berkata:
“Tolong tunjukkan dulu seperti apa akal manusia itu, baru setelah itu kau manusia kumakan.”
Pak Marmuj teringat buku Filsafat Umum yang pernah dibacanya seperti kata Aristoteles: Manusia adalah Hewan yang Berfikir dan Berakal, lalu pak Marmuj pun semakin berani berkata:
“Sebentar, kebetulan saya pulang mengajar dari sekolah, jadi akalku kutinggal di rumah”.
Adik Singa semakin penasaran, melanjutkan perintah:
“Kalau begitu ambillah dulu nanti bawa kemari, segera!!”
Ok sepakat, pak Marmuj pun balik kanan, setelah tiga langkah pak Marmuj pun balik bertanya:
“maaf Adik Singa, nanti kalau saya ambil akalku ke rumah, kemudian saya datang kemari, apakah engkau Adik Singa masih di sini?”
Keduanya terdiam sejenak, dan pak Marmuj usul:
“Bagaimana kalau kau kuikat di pohon ini, agar tidak pergi, dan kita nanti tetap jumpa di sini?”.
Adik Singa setuju, dan menjawab:
“Ok sepakat ikatlah saya di pohon kayu ini agar tidak pergi kemana mana.”
Pak Marmuj pun pulang sampai langkah ke tujuh balik kanan mendatangi Adik Singa.
Pak Marmuj membawa sepotong kayu dan memukul Adik Singa sampai pingsan,
Pada saat detik terakhir Adik Singa berpikir, oh… mungkin inilah yang disebut akal manusia. Lalu Adik Singapun mati.
Kematian Adik Singa menjadi kabar besar di batas desa, namun angin lembah membawa pesan sampailah kepada Kakak Singa sebuah berita Adik Singa mati ditangan seorang manusia alias Pak Marmuj. Terdengar sampai telinga Kakak Singa di gunung, gelisa karena adiknya dibunuh oleh manusia.
Berhari-hari Kakak Singa tak dapat tidur, kesemak tak dapat mangsa, ke gunung tak dapat minum, ke hutan ternyata jumpa manusia Si Pemburu Hewan dengan senapan di Pundak berjalan sendiri
Tidak ada berpikir, langkah seribu langsung dipakai berburu manusia, mengejar ke semak sampai ke belukar, melompat ke lembah sampai rantingpun patah, manusia pemburu hutan tak sempat menyiapkan peluru apalagi menarik pelatuk senapan. Sampailah si Pemburu Hewan tersudut pelarian di ujung jurang.
“Matilah saya, di depan jurang dalam, di belakang Kakak Singa”.
Gundah Pemburu Hewan.
Tapi apa yang terjadi, semua diam, tidak ada gerakan, tidak ada kejaran dan berhenti, semua daun yang dilewati seperti semula, semua semak sudah kembali menjadi belukar, dan lembah pun tak berangin seperti tak ada kabar.
Pemburu Hewan penasaran dan mencoba menoleh kebelakang, ternyata masih ada Kakak Singa diam, hanya diam.
Pemburu Hewan mencoba keberuntungan, bertanya kepada Kakak Singa:
“Hai Kakak Singa mengapa engkau tidak menerkam saya?”
Kakak Singa diam tak bergeming sambil menggerakkan dua tangannya.
“Hai Kakak Singa sudah tiga menit mengapa engkau tidak memakan saya, bila ini terus berlanjut, dari pada aku mati lebih baik aku lompat ke jurang.
Kakak Singa mulai mengaum, dan berkata:
“Hai manusia Pemburu Hewan, saya diam sejenak karena masih ingat kata mamak kami, bahwa sebelum makan berdoa dulu karena sudah mendapat rezeki”.
Tak lama Kakak Singapun menerkam dan memakan manusia si Pemburu Hewan.
Habislah riwayat Pemburu Hewan, dan masih hidup singa di tengah hutan.
Mungkin kedekatan seorang Kakak Singa dengan Adik Singa adalah ikatan darah yang tak ada tandingannya melebihi apa pun seperti dalam film Aqua Man II untuk alasan keluarga antara Arthur Curry dan adiknya Orm.
Di balik pohon kayu besar batas desa terdengar suara kematian Pemburu Hewan, dan pak Marmuj menuliskan kisah ini untuk seluruh muridnya di kelas.
Tiga hal yang dapat kita ambil hikmah dari cerita di atas:
Pertama, setiap insan di dunia ini tidak ada yang paling hebat, karena di atas langit masih ada langit.
Kedua, yang membedakan manusia dengan tidak manusia adalah akal, maka menggunakan pikiran untuk menjadi diri sendiri dalam kehidupan itu perlu.
Ketiga. Apapun yang kita lakukan ada adab yang mengatur dan memberi aturan agar memiliki kebudayaan untuk peradaban.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita bercari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari berbagai sumber.