Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Sesungguhnya NDP HMI mempromosikan keberagamaan yang penuh keteduhan dan kedamaian. Keberagamaan yang tidak berhenti pada level eksoteris, tetapi mendaki dan menaik pada level esoteris. Keberagamaan yang penuh penghargaan dan penghormatan pada perbedaan yang bernuansa fiqhiyyah, namun bersama-sama melakukan pendakian spiritual yang penuh kedamaian menuju Tuhan yang ahad. (Azhari Akmal, 2018:16).
Satu teks atau konsep yang dihasilkan oleh manusia selalu dipengaruhi latar belakang pendidikan, minat serta konteks yang terjadi di sekeliling penulisnya, terlebih emosi yang mengiringi ketika menumpahkan mata pena. Seperti halnya hari ini, kita dihadapkan dengan berbagai persoalan, tetapi mana yang menyulut emosi, maka kita jadikanlah itu prioritas untuk dimengerti, dipahami kemudian kita carikan solusi.
Narasi yang terbangun dari berbagai sumber adalah pilihan bijaksana, pertimbangan terhadap kemungkinan menyinggung orang lain justru kadang tak kita pedulikan, tetapi yang utama adalah satu thesa yang kita tawarkan akan memberi satu jawaban dari satu persoalan.
Prof Akmal Azhari Tarigan, yang telah lama berkecimpung di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), mengenal dengan baik siapa guru komunitas itu yakni Nurcholish Madjid. Di akhir tahun 1960-an gejolak bangsa Indonesia baru saja menghadapi revolusi kemudian baru saja menapak apa itu Orde Baru di awal 1970-an menjadi setting siapa dan apa yang ada dalam pikiran Cak Nur.
Tepatnya Kongres ke-10 di Palembang tahun 1971 NDP secara resmi dijadikan sebagai pedoman perjuangan HMI, sebagai pemahaman Islam mazhab HMI yang memuat tujuh tema pokok : (1) Dasar-dasar kepercayaan, (2) Pengertian-pengertian dasar tentang kemanusiaan, (3) Keharusan universal (takdir) dan kebebasan berusaha (ikhtiar), (4) Ketuhanan yang maha esa dan perikemanusiaan. (5) Individu dan masyarakat, (6) Keadilan sosial dan ekonomi, (7) Kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.
Menjadikan agama sebagai “sesuatu” adalah hal biasa, tetapi bila dijadikan obyek penafsiran itu menantang berbagai antitesa. Artinya bila Cak Nur menawarkan gagasan Nilai Dasar Perjuangan dengan mentaksonomi isi Al Quran menjadi 7 tema utama mungkin beliau terinspirasi dari gurunya Fazlur Rahman dalam buku Tema Pokok Al Quran yang membahas Delapan tema pokok Rahman tersebut adalah (1) Tuhan, (2) Manusia sebagai Individu, (3) Manusia dalam masyarakat, (4) Alam semesta, (5) Kenabian dan Wahyu, (6) Eskatologi, (7) Setan dan Kejahatan, (8) Kelahiran Masyarakat.
Lantas apa yang kini di hadapan kita, adalah UIN Sumatera Utara Medan, sedang mengusung apa yang disebut Wahdatul Ulum dan Transdisiplin untuk setting Smarth Religion Campus. Apakah kita akan mentaksonomi keilmuan, mengembangkan tema pengkajian, semuanya terpulang kepada aras mandat yang diberikan.
Sebagai sebuah perguruan tinggi mungkin dalam pemikiran awal kita perlu berbeda agar kuat bila dilengkapi dengan berbagai antitesa, dengan itulah kita akan kaya melahirkan sintesa sintesa baru.
Dari sinilah sesungguhnya keilmuan perguruan tinggi akan mempromosikan keberagamaan yang penuh keteduhan dan kedamaian. Diskusi dan perselisihan di ranah pemikiran agar tidak berhenti pada level eksoteris, tetapi mendaki dan menaik pada level esoteris mungkin begitu.
Keberagamaan latar belakang pendidikan yang penuh disiplin epitimologi pada perbedaan yang bernuansa fiqhiyyah, semoga tertuju pada satu aksiologi untuk kampus tercinta. Dan kitapun bisa bersama-sama melakukan pendakian spiritual yang penuh kedamaian menuju Tuhan yang ahad, walaupun dari fakultas berbeda. Indah sekali hidup di kampus kita hari ini.
Pendidik inspiratif siap berdalam-dalam untuk mengungkap keunikan ontology para gurubesarnya, tetapi ia tetap taat azas dengan kejujuran epistimologi, akhirnya semua kegiatan mendidik itu adalah benar untuk kemaslahatan umat. Mengapa aksiologi harus berbeda, bila semua kita adalah mencari keberkahan.
Masih kita lanjutkan, apakah ada benang hijau antara Prof Akmal, Prof Nurcholish, dan Prof Fazlur Rahman, Prof Simon van den Berg, atau bahkan sampai ke Ibnu Sina ? Tak pastilah, tetapi nama Abdurahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin bin Abdurahman bin Ibnu Khaldun, yang dikenal sebagai “Ibnu Khaldun”, lahir di Tunisia pada 1332 M (732 H) berasal dari keluarga Andalusia keturunan Arab ini mewariskan sejarah kepada kita bahwa enam parenting di atas kita harus terbawa dalam legacy keilmuan, itu yang disebut dengan warisan intelektual. Mungkin inilah salah satu jalan kita menemuwariskan Kitab al Najat. Parental keilmuan memang asyik untuk diperbincangkan, karena menyinggung banyak orang.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.