Doktrin ijma`, tentu saja memainkan peranan yang mendasar dan sangat penting dalam melestarikan warisan masa lampau dan membentuk lembaga-lembaga dalam Islam. Ia berfungsi sebagai kekuatan pemersatu, seperti halnya lembaga-lembaga yang sejenis dalam agama agama lain. Ia melahirkan kesatuan dan solidaritas dalam seluruh sistem hukum, dogma dan ritual. Menciptakan kesatuan dalam keragaman merupakan fungsi utama ijma` pada abad pertengahan. (Ahmad Hasan, 1985:298).
Satu Al Qur`an melahirkan berbagai tafsir, satu Tafsir melahirkan berbagai makna dan kemudian pemikiran. Sejak Al Qur`an diwahyukan kemudian menjadi pedoman hidup bagi umat Islam, maka sepanjang sejarah adalah bukti bagaimana Al Qur`an menyatu dan memberi perlindungan terhadap ummat yang memercayainya.
Sepanjang sejarah, juga beriringan dengan seluas bumi, dan sebanyak ummat dengan satu Al Qur`an akhirnya melahirkan berbagai corak, ragam serta varian tentang makna. Sejarah memberikan runtutan waktu dimana satu tonggak kejadian akan terkait dengan apa yang terjadi sebelumnya, maka wajar bila ada perbedaan tafsir dalam perspektif sejarah.
Sejarah memberikan lebarnya tempat apakah secara geografikal maupun kontekstual, maka wajar pula bila makna Al Qur`an memberikan ciri antara satu tempat membedakan dengan tempat lainnya.
Dan sejarah mengakomodir berbagai masalah umat manusia, apakah tentang hidup sendiri, berkeluarga, bertetangga sampai bermasyarakat dan berbangsa bahkan bernegara. Maka disinilah Al Qur`an berperan menjadi pembimbing, pengarah, pengendali tetapi juga penginspirasi bagi siapa saja yang ada didalamnya.
Ketika bermacam corak, beragam pandangan serta munculnya variasi persepsi diakui, sebagian bertahan dan sebagian luluh hilang ditelan masa. Bagi yang bertahan membentuk dan melembaga dalam organisasi, politik, maupun komunitas bahkan sampai ideologi.
Menyadari hal inilah maka kesepakatan untuk berbeda lahir apa yang disebut dengan pandangan terhadap Al Qur`an yakni Ijma`. Benarlah bila disebutkan bahwa; Ijma berfungsi sebagai kekuatan pemersatu, seperti halnya lembaga-lembaga yang sejenis dalam agama-agama lain.
Bila sejarah menggambarkan dirinya dalam hal yang baik-baik saja, tentu kehebatan, kemerdekaan serta kesuksesan adalah jendela utama mempelajarinya. Sedikit mungkin disuguhi oleh adanya kerja keras, kekacauan atau pertentangan sebagai seni mengindahkan penyebab latar belakang.
Namun jauh dari itu pemikiran yang berbeda satu dengan lainnya justru lebih menjadi alasan utama perlunya ijma dalam kehidupan umat. Pembuktian ini menjadi penting ketika sejarah dipahami sebagai proses sosial dan proses pertumbuhan masyarakat.
Dari sini kita membenarkan dalil bahwa; Ijma` tentunya ia melahirkan kesatuan dan solidaritas dalam seluruh sistem hukum, dogma dan ritual. Menciptakan kesatuan dalam keragaman merupakan fungsi utama ijma` pada abad pertengahan sebagai bukti peradaban bagiamana selama ini.
Ijma` ternyata bukan sekadar produk dari pada sejarah, khususnya bagaimana Al Qur`an bersentuhan dengan umatnya yang memerlukan keragaman, akan tetapi bukti dari ilmu pengetahuan dan ilmuan yang konsisten menjaga masyarakatnya.
Sekali lagi Ahmad Hasan memberi catatan kepada kita bahwa; doktrin ijma`, tentu saja memainkan peranan yang mendasar dan sangat penting dalam melestarikan warisan masa lampau dan membentuk lembaga-lembaga dalam Islam.
Sungguh Ijma` yang selama ini kita memahami hanya sebatasi produk hukum pada level tiga setelah Al Qur`an, Sunnah, ternyata lebih dari itu. Tinggal bagaimana hari ini kita memberikan proporsi yang nyata ilmu bukan sekedar seni tetapi menjadi bagian dari membangun peradaban lewat lembaga yang mengayomi keragaman waktu, tempat dan ummat.
Wajar bila ada ummat yang tidak mau menerima perbedaan mungkin dialah yang tidak tercatat dalam sejarah peradaban. Atau bertahan dengan hukum komunitasnya, dogma politiknya, serta ritual organisasinya sendiri. Tinggal kita mau memilih yang mana, atau lewat lembaga apa untuk melanjutkan sejarah.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.