Coaching adalah bermitra dengan klien (coachee) dalam memprovokasi pemikiran dan kreatifitasnya yang menginspirasi mereka untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesionalnya. (Basyrah Basir, 2024).
Ketika dosen masuk kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, kadang terpikir saya mau mengajar, atau mendidik, atau melatih, ah….. sama saja.
Sebelum masuk kelas kita mempersiapkan segala macam ilmu pengetahuan, bahkan tanya jawab tentang materi yang akan disampaikan, berlagak seperti seorang ilmuwan.
Untuk menunjukkan bahwa kita hebat sebagai dosen, maka semua pertanyaan sudah disiapkan jawaban. Sedikit menantang ada mahasiswa belum selesai bertanya sudah dijawab nyerocossss….. bahkan pertanyaannya pun disalahkan…sungguh inilah salah satu tipe mengajar seorang dosen ilmuwan.
Ada pula dosen paruh baya, karena pengalaman mendidik bertahun-tahun, maka kadang masuk tidak membawa buku, apalagi diktat zaman dulu. Padahal ia masih menyimpan model diktat tebal dari dosennya tetapi bukan senjata menakuti mahasiswa hari ini. Masuk kemudian ia meminta mahasiswa silahkan ada yang mau bertanya, mungkin bisa kita diskusikan.
Apa yang terjadi karena sudah terbiasa akrab, mahasiswa selalu bertanya bahkan menyampaikan segala macam uneg-uneg dari soal mengerjakan tugas sampai mengatasi masalah keuangan pribadi. Tetapi dosen ini tidak habis cara, banyak hal bisa dilakukan bentuknya dengan kolaborasi, memang pintar dosen sendiri tidak mesti keluar uang tetapi bisa mengatasi.
Tipe ketiga ada dosen pelatih, yang dibayangkan mahasiswa adalah aset, bisa dijadikan uang lewat pemanfaatan tenaga, bahkan jadi bagian dari membangun organisasinya, kelompok, atau komunitas eksklusif.
Pertama diajak gabung untuk ikut pelatihan, kedua diajak jadi asisten, dan seterusnya menggantikan walaupun tidak dibayar.
Alasannya jelas sebagai mahasiswa magang dulu, investasi tenaga dan waktu, nanti ada saatnya dapat benefit.
Kini mari kita bayangkan apa yang dirasakan oleh mahasiswa dari dosen kelompok pertama, mereka adalah generasi patuh mendapat ilmu sebanyak-banyaknya sampai catatan habis perlu tambah. Ilmunya disimpan di buku, di flashdisc, hardisk, googledrive, dan semua tempat di dunia ini.
Mahasiswa dari dosen kelompok kedua, dia mendapatkan seseorang seperti pengganti orang tua, tempat bertanya juga berlindung mengatasi masalah dalam kehidupan selama ini. Tidak perlu banyak belajar ilmu tetapi ia selalu terampil bagaimana mencari kebijaksanaan, mungkin nilai yang diperoleh pun tidak perlu tinggi tetapi koneksi dengan berbagai kalangan baginya sebuah kepuasan.
Mahasiswa dengan dosen kelompok ketiga, mereka cenderung belajar setuju tidak formal, sulit mengontrol diri, bila perlu kuliah di luar kelas, yang penting pengalaman dapat walau ilmu sedikit. Begitu tamat biasanya sudah banyak kenalan tidak sulit mencari kerja, bukan karena pengalaman saja, tetapi justru kadang tamatnya pun telat.
Di era milenial ini, mahasiswa dari produk dosen kelompok pertama, kedua dan ketiga ada di depan kita, bisa saja ada dalam satu kelas seorang dosen, atau di kelas berbeda. Bagaimana hubungan dosen dengan mahasiswa itulah salah satu yang menjadi persoalan, atau perbincangan yang hangat kita dengar akhir-akhir ini.
Seorang Basrah yang lama berkecimpung di dunia training mencatat bahwa; Coach dan Coachee adalah memiliki hubungan yang setara, artinya dalam percakapan coaching maka hindari konsep hubungan senior-junior, berpengetahuan-tidak berpengetahuan dan sejenisnya. Sungguh mahasiswa kelompok ketiga mendapat angin segar menurut beliau.
Bagaimana dengan mahasiswa kelompok pertama, maka dosen dan mahasiswa harus sama-sama menyadari, belajar di perguruan tinggi hari ini sudah berubah. Sekali lagi berubah dan berbeda.
Menurut Basra yang lebih serius lagi bahwa; memprovokasi pemikiran coachee dengan cara mengajukan pertanyaan yang memberdayakan sehingga membuat coachee mendapatkan inspirasi dari dalam dirinya sendiri berupa insight, awareness, aha moment dan ide-ide terbaik.Ini adalah jawaban bila mahasiswa ingin hidup sukses di zaman yang akan datang.
Sepertinya banyak bukti telah diukir oleh seorang Basra di ibu kota, di mana ia berkolaborasi dengan berbagai kalangan, bukan saja birokrat, akademisi, apalagi trainer kelas internasional. Beliau menyimpulkan bahwa; Memaksimalkan potensi dari coachee adalah output yang diharapkan dari adanya percakapan coachee.
Dari tadi cerita coachee, sebenarnya itu sama dengan peran dosen, yakni menjadi pengajar, pendidik dan pelatih, itulah yang kini dijadikan arusutama proses pembelajaran untuk generasi Gen-Z.
Setuju…. maaf kita bukan pada posisi memilih opsi, tetapi hari ini merenung, ternyata kita sooor sendiri dengan model mengajar yang kita terima dari guru dan dosen kita dulu, tetap kita pertahankan. E…. ternyata dunia sudah berubah, mahasiswa sudah berbeda. Bayangkan tahunpun sudah berpindah.
UIN Sumatera Utara Medan setelah sukses menjadi unggul dalam akreditasi, kini ingin menapak ke kelas dunia. Saya tidak mau berubah, maka tak mungkin saya merubah langkah UIN Sumatera Utara Medan.
Ok. Setuju atau tak mau masuk kelas lagi, bahasa eufimismenya, mengundurkan diri dari dosen hari ini bila tak mau berubah. Titik. Kita setuju
“Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.