Guru Umar Bakri
Umar Bakri Umar Bakri
Pegawai negeri
Umar Bakri Umar Bakri
Empat puluh tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati. (Iwan Fals, 1981).
Apa yang terbayang oleh kita ketika mendengar kata guru? Apa pula yang terlintas dalam pikiran kita ketika berpapasan dengan guru? Mungkin juga kita pernah membayangkan apakah kita satu saat menjadi guru.
Bayangan guru adalah orang paling pintar tempat kita meminta pendapat, memecahkan masalah sehingga ia adalah tauladan baik di hadapan muridnya maupun di tengah-tengah masyarakat.
Guru hari ini memang sudah mendapat perhatian dari pemerintah sebagai penyelenggara negara lewat regulasi Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Perhatian tersebut sekaligus memberi status bahwa guru adalah sebagai profesi, maka semua yang melekat dalam jabatan guru terlindungi oleh Undang-Undang, kemudian guru mendapat hak atas profesinya.
Tentu juga diiringi oleh berbagai kewajiban seperti mengajar, melatih, membimbing, membina, mengevaluasi dan beban tuggas lainnya. Sampai-sampai tugas lainnya seperti update status di aplikasi guru lebih menyibukkan dibanding tugas utama yakni mengajar dan mendidik.
Dalam pengalaman kita selama ini bila berpapasan dengan seorang guru mungkin banyak hal dapat terjadi; pertama, kita akan menyalami, menyapa dan memberi hormat dengan berbagai ekspresi, memberi salam, hormat dan siap, atau justru bercengkerama.
Kedua, justru jumpa dengan guru adalah sebuah kesempatan untuk bertanya tentang masalah yang tidak dapat diselesaikan, mengadukan banyak hal tentang solusi kehidupan.
Dan yang ketiga, merasakan ada sesuatu yang tidak disenangi terhadap guru, maka menghindar adalah jalan satu-satunya. Kita tidak tahu sesungguhnya mana yang paling disenangi guru, apakah yang pertama sekadar menyapa, kedua meminta pendapat, dan solusi, atau ketiga tak ingin jumpa sama sekali.
Selama kita belajar di sekolah, bukan tidak banyak kesan terhadap guru memberi inspirasi terhadap pekerjaan guru, tetapi ingat, bisa saja sebaliknya.
Sejak kita jadi seorang murid dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, sampai Perguruan Tinggi, mempunyai banyak guru. Dari sinilah kita memilih dan menetapkan pekerjaan sebagai profesi, sebagian kecil diantaranya adalah profesi guru.
Apakah profesi guru yang dipilih karena terbayang guru yang mengajar selama ini, atau muncul begitu saja, mungkin saja yang ketiga tidak ada lagi profesi lain yang mungkin untuk dipilih kecuali jadi guru.
Sungguh berbeda hari ini pemilihan terhadap profesi guru justru memiliki seleksi penjenjangan yang berlapis. Pertama, ia harus dari sarjana Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan atau LPTK seperti Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Kemudian mengikuti seleksi Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, di mana seleksi yang sangat ketat bukan sekadar tes akademik, tetapi persoalan kuota dan politik pemerintah.
Dan setelahnya baru mendapat jabatan guru profesional yang bersertifikat. Guru secara administratif adalah mereka yang memiliki ijazah S1 Kependidikan, dan bersertifikat sebagai syarat guru profesional.
Namun harus dicatat sebagai pengajar dan pendidik ia akan mendapatkan pengalaman bagaimana mengenal, memahami serta mumpuni dalam mengelola kelas.
Kelas di dalamnya ada bermacam ragam perangai siswa, berbagai tujuan dan harapan terhadap sosok guru, bukan saja sebagai motivator, tetapi mungkin lebih banyak menjadi jawaban di mana siswa sedang mencari identitas diri.
Sungguh guru bukan manusia yang mekanistik, tetapi jiwa dan kepribadiannya lebih utama diminta oleh para penghuni kelas untuk sandaran menggapai sebuah jenjang mencapai cita-cita.
Jauh sejak tahun 1981 Iwan Fals rupanya telah memahami profesi guru ini. Kita tidak tahu persis apakah memang ia melihat sosok guru di depan kelasnya, atau ekspresi seni terhadap kritik sosial, tetapi itu tidak penting.
Jelas apa kata sebagian syair lagu berjudul Umar Bakri:
Pegawai negeri
Umar Bakri Umar Bakri
Empat puluh tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati.
Bila mengabdi 40 tahun menjadi guru masih makan hati, itu sungguh sulit dibayangkan, dan yang terbayang justru betapa ia kokoh mempertahankan kejujuran sebagai seorang guru, Umar Bakri.
Memang tidak ada lagi yang lebih berharga dari seorang guru apalagi di mata administrasi yang sungguh penat dan luar biasa, kecuali jujur.
Maka apakah kita masih membayangkan guru tetap jujur mengisi aplikasi, jujur ketika berpapasan dengan muridnya atau pejabat yang pernah menjadi muridnya.
Mungkin Umar Bakri hari ini bisa saja mati di dunia teknologi, dan sebagian terasa mati di dunia birokrasi yang kental politik, tetapi ia tetap hidup di dalam sanubari siapa pun yang ingin pendidikan tetap hidup di negeri ini, demi generasi emas 2045.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.