Dengan bertuhan hanya kepada Allah SWT, yang kekuasaan-Nya memang mutlak dan benar-benar nyata, pada hakikatnya manusia akan mampu menikmati tingkat kemerdekaan yang paling tinggi, yang mungkin tercapai oleh manusia. Inilah yang dituju oleh setiap Muslim di dalam hidupnya. Setiap Muslim yang betul-betul beriman adalah manusia yang paling bebas dari segala macam bentuk keterikatan, kecuali keterikatan yang datang dari Allah penciptanya. (Abdulrahim, 1999:83).
Setiap orang dapat melakukan apa saja dimana saja dan kapan saja. Setiap individu memiliki keinginan untuk melakukan yang sesuai dengan pikirannya, selera perut, dan senang hatinya.
Siapa saja di atas dunia ini dapat melakukannya bahkan ia dapat memikirkan sebelum dia berpikir, dapat berkehendak di luar kepasitas isi badannya, bahkan merasakan sesuatu lebih jauh menerawang keluar batas hidupnya.
Itulah kebebasan individu, dari sinilah dasar-dasar kemerdekaan muncul, dari itu pulalah individu ingin menguasai dirinya, bahkan lebih darinya ia keluar akan menguasai individu lain.
Begitu keluar dari dirinya, ia berpikir ternyata ia ada dari orang lain yakni orang tua, begitu terbangun dari kamar tidur ternyata ada orang lain yakni saudaranya, dan setelah keluar rumah ternyata ada individu yang lebih banyak yakni masyarakat.
Keadaan kedua ini mengharuskan individu mengaca diri apakah dirinya seperti orang tuanya, sejajar dengan saudaranya, atau ia diterima oleh masyarakat sekitarnya. Satu yang menjadi catatan ternyata semua individu itu sama, maka ketika ia berjumpa dengan individu lain, ada satu kesadaran perlu bersama menjadi individu.
Kembali kepada diri sendiri, setiap orang dapat hidup dengan pilihannya, namun ia harus tunduk pada dirinya sendiri, seperti ia harus tertidur, ia harus makan, dan bahkan ia harus B-A-B.
Ini semua adalah mekanistik yang sebagai hukum biologi yang harus dipatuhi, sehingga seseorang harus mematuhi kesadaran kedua, perlu bersama menjaga kesehatan diri.
Pengalaman lain yang semua orang pernah memperolehnya adalah mengapa kita bersama bisa berani di tengah siang dan keramaian atau di tempat yang penuh keceriaan.
Pada bagian lain kita pernah mengalami berjalan sendiri, malam dan sunyi di tempat sedikit seram. Tidak mesti di luar rumah, bahkan di kamar mandi sekalipun kita pernah mengalami kesendirian.
Individu tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan dirinya, kesadaran ketiga muncul yakni ada hal lain yang harus dipercayai turut andil dalam mencampuri kemampuan diri.
Ketiga kesadaran di atas, jelas dalam simbol bahasa disebut dengan “Kepercayaan”. Percaya ada sesuatu di luar diri individu dan mampu mengendalikan, para teolog sepakat itulah cikal bakal hadirnya Tuhan sang pengendali.
Tuhan disimbolkan sesuatu yang dapat menjawab persoalan logika dalam pikiran, keadaan lapar dalam ketubuhan, serta penyeimbang hari dalam perasaan. Abdulrahim memberi pelajaran bahkan percaya dimaksud jangan liar, dan harus kita kendalikan, maka perlu belajar, dan perlu bimbingan. Akhirnya itu semua tidak bukan lah tuhan, dan tidak harus dipercayai, tetapi satu yakni Allah, maka harus diyakni.
Menjemput bimbingan Allah tentu bisa saja lewat perjalanan logika yang panjang, tetapi juga mungkin diperoleh dari kesadaran bahkan kita tidak akan dapat menyelesaikan perut dengan kebuasan, namun jalan mengikuti hati dengan kejujuran itu yang paling ideal.
Imaduddin Abrulrahim sekali lagi memberikan pesan bahwa bila kita meyakini satu-satunya pembimbing adalah Allah maka kemerdekaan tidak akan dihambat, individu tetap mendapat tempat terhormat, dan kuncinya individu harus mampu mengendalikan diri.
Jadi jelas kebebasan dan kemerdekaan itu sama dekatnya dengan upaya menghargai diri sendiri dengan berpikirlah sesuai dengan kemampuan, makanlah sesuatu dengan ukuran dan rasakanlah nikmat pasti akan datang.
Lebaran atau hari raya, adalah bagian penting untuk menjadikan diri kita merdeka setelah berpuasa, namun makna lebih dalam dari itu adalah memperoleh definisi baru tentang hakikat diri.
Boleh berpikir telah berpuasa penuh, namun puasa selanjutnya itu yang utama, boleh berbuka makan semampunya, tetapi diri kita bukanlah semata cermin dari banyaknya pilihan makanan, akhirnya rasa menerima Allah adalah pembebas dan pembimbing tindakan kita itulah tujuannya.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.