Oleh Prof Dr Mardianto MPd
Kedudukan syekh dalam tarekat, dimana para syekh yang disebut pendiri tarekat seperti Baha al-Din al-Naqsabandi, tidak memandang bahwa mereka pencipta atau penamah ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, tetapi mereka hanya pengolah ajaran yang berfungsi memberikan metode pada tarekatnya dan membentuk suatu komunitas tertentu. (Lindung Hidayat Siregar, 2009).
Ilmu didapat dari pengetahuan tentang pengalaman, perenungan kemudian berguru kepada seseorang. Ketiga cara di atas bisa dilakukan secara satu persatu, bersamaan atau persilangan. Mendapatkan ilmu memang banyak formulasi untuk melakukannya tergantung pada riwayat seseorang atau tersandar pada situasi di mana ia tinggal atau keadaan dialami.
Pengalaman adalah sumber pengetahuan, karena dengan melihat, memahami kemudian mencoba menghubungkan satu dengan lainnya maka dapatlah satu bagian darinya.
Empirisme adalah aliran yang secara konsisten memberi legitimasi bahwa untuk mendapatkan ilmu harus terjun ke lapangan karena di sana sumber pengetahuan sangat luas seluas alam bahkan di balik alam semesta. Tetapi bukan pengalaman yang dilihat saja, adalah pengalaman diri, kelompok dan masa lalu itu justru mengandung banyak makna.
Perenungan merupakan satu metode untuk mendapatkan pengetahuan secara sah, dengan alur logika yang konsisten tentunya. Rasionalisme memberi dorongan bahwa manusia memiliki potensi yang harus dikenali dan dikembangkan paling tidak untuk mendapatkan pengetahuan tentang dirinya sendiri.
Kelemahan pada pengalaman dengan berbagai keterbatasan melihat, mendengar dan merasakan kadang kala itu biasa tetapi yang luar biasa interpretasi yang bisa menjadikan pengetahuan dari pengalaman sangat rentan dengan kesalahan. Dalam hal ini perenungan dengan metode yang tepat menjadi pilihan utama seseorang untuk mendapatkan pengetahuan.
Tak dapat dipungkiri, ketika seseorang lahir telah ada orang tua dan orang lebih pintar darinya dia disebut dengan pendidik atau guru. Mendekatkan dengan orang yang pintar adalah satu cara mendapat pengetahuan walau tidak disebut dengan instan, karena pengetahuan yang diperoleh telah diformulasikan oleh guru.
Tetapi guru yang menyadari, dirinya bukan pembuat ilmu pengetahuan adalah penting, ilmu itu ada di alam, ilmu itu ada di perenungan diri sendiri, bagaimana cara mendapatkannya, di sinilah peran guru dalam mendapatkan pengetahuan yang lebih beriman.
Pendidik insipratif mengerti saat kapan belajar dengan alam, dengan perenungan atau dengan guru. Sistematika belajar bisa saja satu persatu, bisa saja sesuai dengan konteks atau keadaan, tetapi lebih dari itu mengolaborasikan ketiganya lebih penting.
Pendidik inspiratif sangat sadar bahwa pengetahuan tidak otoritas pada dirinya semata, menjaga orisinalitas ilmu itu penting, tetapi menyampaikan hal itu dengan kebijaksanaan adalah hal utama.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.