Pada dasarnya peradaban bisa didefinisikan sebagai himpunan faktor-faktor tertentu, baik yang bersifat materi maupun nonmateri, yang memberi kemampuan kepada suatu masyarakat tertentu untuk memberikan jaminan-jaminan sosial kepada seluruh anggota masyarakatnya sehingga mereka bisa meningkatkan diri. (Malik bin Nabi,1988:173).
Peradaban adalah puncak dari kemajuan kebudayaan khususnya kebudayaan nonmateri yang pernah dicapai oleh satu masyarakat atau bangsa. Peradaban itu berasal dari kata adab, menunjukkan adanya kegiatan immateri, atau nonmaterial seperti hukum, aturan, etika, tata krama dan lain sebagainya.
Berarti peradaban yang dicapai oleh suatu bangsa adalah puncak di mana hukum jadi panglima, aturan ditegakkan oleh penegak hukum, serta etika dijadikan standar bagi siapa saja dalam berkehidupan sampai pada tata krama menjadi dasar bagi masyarakatnya.
Bagaimana menjadi hukum sebagai panglima dalam kehidupan khususnya untuk pencari keadilan, caranya adalah ajarkan di fakultas hukum filsafat sampai pada etika dan kapita selekta.
Pelajaran hukum bukan saja menceritakan bagaimana warisan hukum dari sejak zaman Belanda, awal kemerdekaan sampai hari ini, tetapi bagaimana menggali hukum dari warisan leluhur budaya bangsa sendiri.
Kita tidak tahu persis apakah produk hukum hari ini sudah benar-benar digali, dikembangkan kemudian dipraktikkan untuk orang Indonesia. Atau jangan-jangan sebagian masih warisan dari kolonial.
Berbagai peraturan yang dihasilkan oleh legislatif adalah cerminan bahwa memang masyarakat kita memiliki dinamika yang sangat tinggi, dan peraturan perundang-undangan banyak dihasilkan.
Sumber tertib hukum sejak tahun 1966 mungkin saja sudah berubah dari Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Tap MPR sampai perda dan mungkin saja peraturan seorang kepala desa.
Kita tidak tahu persis sudah berapa banyak produk peraturan yang dihasilkan, yang pasti yang membuat peraturan justru semakin ramai bukan saja DPR Pusat, tetapi kini sampai ada DPR Desa.
Lantas siapa yang melaksanakan, mengawal, serta menegakkan hukum dan peraturan tersebut, tentu adalah aparat, serta masyarakat bersama anak bangsa lainnya. Bagaimana cara menerapkannya maka diperlukan etika, di sini lahir apa yang disebut etika berbangsa, bernegara, bahkan etika bermasyarakat.
Kadang hari ini kita tidak tahu siapa yang paling menjaga etika di negeri ini, apakah guru TK atau seorang pimpinan lembaga tertinggi negara. Yang pasti di tangan merekalah masa depan bangsa ini apakah kita masih memerlukan etika atau tidak.
Dimulai dari kehidupan keluarga di mana anggota rumah tangga seorang ayah yang memberi contoh teladan kepada seluruh anggota yakni dirinya berperan sebagai seorang ayah, istri yang berperan sebagai ibu rumah tangga, anak pertama berperan sebagai sulung, anak terakhir terayomi sebagai anak bungsu.
Bila hari ini anak sudah lebih banyak waktu luang dengan gadget atau gawainya, tata krama mungkin tergerus oleh sign in, upload, AI, google dan lain sebagainya. Yang mungkin kita harapkan adalah kembalikan fungsi dan peran orang tua dalam kehidupan rumah tangga. Kuasa mereka tidak yang dapat menghalangi apapun, siapapun di dunia ini.
Faktor rumah tangga adalah kata kunci membangun peradaban awal untuk suatu bangsa. Semua pasti setuju, bila sudah tidak ada harapan di keluarga, maka bangsa apapun jauh dari peradaban yang diinginkan.
Jadi jelaslah bahwa adab itu harus dicontohkan oleh seorang ayah, disupport oleh ibu, jadilah peradaban di keluarga baru boleh mimpi peradaban bangsa.
Kita setuju “Dengan kolaborasi kita bangun negeri, lewat pendidikan kita bersinergi”.